Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Presidensi G20 di Bali 2022 dan "Climate Leadership"

Kompas.com - 06/05/2022, 08:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SENIN, 14 Maret 2022 di Hotel Meruorah Komodo, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-Moon, merilis nada harapan bahwa kepemimpinan Indonesia dapat lebih berperan dalam isu perubahan iklim dan perdamaian kawasan Asia melalui momentum Presidensi G-20 di Bali pada November 2022.

Rabu, 1 Desember 2021 di Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka Presidensi G20 Indonesia dengan tema Recover Together, Recover Stronger. Fokus Presidensi G20 Indonesia ialah (1) arsitektur kesehatan global yang inklusif dan tanggap krisis; (2) transformasi sosial ekonomi berbasis digital; dan (3) transisi menuju sistem energi berkelanjutan.

G20 adalah forum antar-pemerintah terdiri dari Uni Eropa dan 19 negara (Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Tiongkok, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat (AS). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, Spanyol, Uni Afrika, Asean, dan organisasi internasional lain menjadi tamu-undangan permanen.

Baca juga: Apa Keuntungan Indonesia Jadi Anggota G20?

Kementerian Pertahanan (Ministry of Defence/MOD) Inggris merilis tren stategis global “Global Strategi Trends” edisi ke-6 tahun 2018. Dua dari 16 faktor ketidakpastian global yang memicu risiko skala besar awal abad 21 yakni erosi kedaulatan negara-negara dan lonjakan disrupsi dan ongkos perubahan iklim.

Kedua faktor risiko tersebut membawa risiko besar. Sebab hukum, yurisdiksi, kebijakan, dan program tata kelola tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah basis kekuasaan tiap negara. Maka tentu risiko sangat besar, jika terjadi erosi kedaulatan negara.

Di sisi lain struktur kapitalisme dunia sejak Revolusi Industri di Eropa, telah terpateri erat dengan bahan bakar fosil (batu-bara, minyak, gas) dari perut Bumi. Bahkan kapital fosil menentukan pertumbuhan ekonomi banyak negara hingga awal abad 21 (Heinberg, 2011).

Untuk menghasilkan energi, bahan fosil dibakar. Risikonya, pelepasan CO2 ke atmosfer, pemicu utama perubahan iklim selama ini (Fronk, 2014:2; IPCC, 2021). CO2 (karbon-dioksida) mengontribusi sekitar 65 persen kenaikan suhu atmosfer (Aleklett, 2012) dan memengaruhi suhu laut dan kenaikan permukaan air laut sejak 1970 (IPPC, 2013).

Pilihan kini ialah tansisi dari energi fosil ke sistem energi bersih-bekelanjutan. Hillary Fronk (2014) menulis tesis tentang peluang transisi ke sistem energi berkelanjutan: “Global Capitalism and the Energy Crisis” pada University of Denver, AS. Fronk menulis bahwa penemuan dan penggunaan api dari batu dan kayu adalah jejak awal manusia dengan tata-kelola sumber energi berkelanjutan, peradaban manusia, dan bahkan survival-eksistensi kehidupan manusia di planet Bumi.

Gletser di Alaska mulai mencair akibat perubahan iklimDennis Larsen /Pixabay Gletser di Alaska mulai mencair akibat perubahan iklim
Climate leadership

Transisi dari sistem energi fosil ke sistem energi bersih-berkelanjutan pada tiap negara sangat bergantung pada kepemimpinan nasional. Misalnya, korupsi memiliki jejak ekologis (ecological foot-print) antara lain degradasi (rapuh) ekosistem, degradasi tanah-air, punah keragaman-hayati, penipisan sumber daya alam, bencana alam, kelangkaan air sehat-bersih, kekeringan, kebakaran hutan, bencana alam, dan desertifikasi (rapuh-lahan). Ini pula tantangan kepemimpinan tiap negara, termasuk para pemimpin kelompok negara G20 kini.

Sistem energi bersih-berkelanjutan selama ini belum kompatibel dengan struktur ekonomi tiap negara. Sistem ekonomi tiap negara lebih kompatibel dengan bahan bakar fosil. Maka transisi sistem energi dari fosil ke energi bersih-berkelanjutan bakal mengubah sistem sosial-ekonomi-lingkungan tiap negara saat ini.

Baca juga: Begini Dampak Perubahan Iklim Jika Tidak Segera Diatasi

Pilihan kini ialah kepemimpinan nasional yang hikmat-bijaksana untuk mengubah sistem sosial-ekonomi agar kompatibel sistem energi bersih-berkelanjutan yang memitigasi efek-efek perubahan iklim. Kepemimpinan negara harus solid-kuat guna mencegah erosi kedaulatan negara dan tidak tergerus oleh sistem neoliberal berbasis kapitalisme fosil.

Ini tidak mudah, misalnya lihat data awal abad 21 di AS (Deffyes, 2005), ada enam ribu tambang aktif batu-bara; bahkan ¾ konsumsi energi di AS berasal dari batu-bara (Heinberg, 2011).

Awal 1900-an, minyak digunakan sebagai sumber energi; minyak mulai digunakan dalam perang pada era Kaisar Romawi Konstantinus IV abad 7 M (Heinberg, 2011). Awal abad 20, minyak menjadi sumber pokok pertumbuhan ekonomi di Eropa dan AS (Fronk, 2014:10). Struktur ekonomi dunia sejak tahun 1965, masih didominasi oleh konsumsi energi fosil.

Kepemimpinan hikmat-bijaksana melaksanakan kebijakan dan program pemulihan ekosistem negara dan transisi sistem energi dari bahan bakar fosil ke energi bersih-berkelanjutan (climate leadership). Misalnya, pilihan kebijakan pajak dan subsidi dapat mempercepat transisi ini.

Subsidi adalah bentuk bantuan langsung atau tidak langsung dari pemerintah ke sektor-sektor usaha yang ramah-lingkungan (Harris et al, 2013). Di sisi lain, reformasi kebijakan pajak dan subsidi tidak mudah, jika lihat data global proyeksi subsidi bahan bakar fosil tahun 2010 sebesar 500 miliar dollar AS; insentif pemerintah ini 12 kali lebih besar dari subsidi ke sumber energi bersih-berkelanjutan skala global (Morales, 2010).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com