Oleh: Muzakki Bashori
Sudah minum dèrèng (belum)?’
‘Mboten, mboten (tidak, tidak). Jangan seperti itu.’
Ekserp di atas adalah potongan kecil penggalan dialog sehari-hari saya dengan anak saya yang masih berusia 18 bulan.
Saya penutur asli Bahasa Jawa (Kudus(an)¸Jawa Tengah), sementara istri saya berasal dari tanah pasundan, tepatnya Ciamis dan cukup fasih berbahasa Sunda.
Saya lebih sering berkomunikasi menggunakan bahasa nasional (Indonesia) dengan istri saya demi menghindari kegagalan komunikasi. Hal ini berimbas kepada pilihan bahasa yang kami terapkan kepada anak kami.
Konsekuensinya adalah kemungkinan besar bahasa ibu atau bahasa pertama anak kami adalah bahasa Indonesia.
Walaupun bahasa daerah tetap kami tuturkan, porsinya jauh lebih sedikit daripada bahasa Indonesia.
Fenomena di atas tak ayal memicu terjadinya language shift atau pergeseran bahasa. Status bahasa daerah yang pada awalnya sebagai bahasa ibu bergeser menjadi bahasa kedua atau ketiga.
Tidak menutup kemungkinan bahasa daerah akan menjadi ‘bahasa asing’ ketika nanti kehilangan penuturnya.
Andriyanti (2019) mengemukakan bahwa salah satu alasan makin menjamurnya fenomena ini dalam konteks memudarnya penggunaan bahasa Jawa adalah lemahnya transmisi antargenerasi, yang disebabkan oleh, antara lain, menguatnya posisi bahasa Indonesia.
Klaim tersebut didukung dengan fakta bahwa jumlah penutur bahasa Jawa kian menurun dalam rentang empat tahun terakhir, dari 86 juta pada tahun 2017 menjadi hanya 68 juta penutur pada tahun 2021 (Simons & Fennig, 2017; 2021).
Bahasa Jawa – yang notabene adalah bahasa daerah terbesar di Indonesia – saja tidak mampu mempertahankan jumlah penuturnya, lantas bagaimana dengan bahasa-bahasa daerah lain, yang saat ini saja sudah lebih sedikit penuturnya?
Di sisi lain, dugaan di balik kurang efektifnya transmisi bahasa daerah sebagai bahasa ibu antargenerasi adalah adanya agenda tersembunyi ‘penggusuran bahasa daerah’.
Hal ini dapat dilihat dari, salah satunya, mengakarkuatnya institusi-institusi penyokong penyebaran bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) di Indonesia.
Sugiharto (2015) berpendapat bahwa institusi-institusi tersebut mungkin sedang melakukan ‘imperialisme lingustik’, yang tampaknya memiliki misi mengokohkan posisi dan status bahasa Inggris di Indonesia.