Permintaan Soeharto dianggap biasa oleh Soekarno. Maka, pada 11 Maret 1996 sore di Istana Bogor, Soekarno menandatangani surat perintah untuk mengatasi keadaan.
Baca juga: Peristiwa G30S, Mengapa Soeharto Tidak Diculik dan Dibunuh PKI?
Banyak yang meragukan adanya pemberian mandat itu. Apalagi, hingga saat ini naskah asli Supersemar tidak pernah ditemukan.
Salah satunya Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam.
Dilansir dari Kompas.com, 11 Maret 2021, dia mengatakan Supersemar merupakan salah satu bagian dari rangkaian peristiwa panjang untuk melemahkan kekuasaan Soekarno.
Setelah menerima Supersemar, Soeharto bertindak cepat. Sehari setelahnya, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Belasan menteri yang loyal terhadap Soekarno ditangkap beberapa hari kemudian. Perlahan, kekuasaan Soekarno surut.
Ada tiga kontroversi yang muncul jika membicarakan Supersemar. Pertama, menyangkut keberadaan naskah otentik Supersemar.
Kedua, proses mendapatkan surat itu. Ketiga, interpretasi yang dilakukan oleh Soeharto.
Kendati lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia menyimpan tiga versi naskah Supersemar, ketiganya tidak otentik.
"Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," ujar Asvi.
Baca juga: 7 Pemimpin Negara yang Berkuasa Paling Lama, Soeharto Nomor Berapa?
Kontroversi berikutnya, Supersemar diberikan bukan atas kemauan Soekarno, melainkan di bawah tekanan.
Menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara.
Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.
Akan tetapi, Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak.
"Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi.