Oleh: Dr. Naomi Soetikno, M.Pd dan Andiyani Yanuar, S.Psi
BELUM lama ini, masyarakat dihebohkan dengan kasus lansia berinisial HM berusia 89 tahun yang tewas dikeroyok oleh sekelompok orang di wilayah Pulogadung, Jakarta Timur.
HM dituduh melakukan pencurian mobil. Saat itu korban diketahui mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi sehingga dikejar oleh sekelompok orang.
Pengeroyokan ini mengakibatkan HM tewas di lokasi kejadian.
Tidak perlu waktu lama untuk polisi menangkap para pelaku. Enam orang pelaku ditangkap, yang mayoritas masih berusia dewasa muda dan remaja akhir.
Mereka, yakni TJ usia 21 tahun; JI usia 23 tahun; RYN usia 23 tahun; M usia 18 tahun; MJ usia 18 tahun; dan F usia 19 tahun.
Bentuk kekerasan yang dilakukan kepada HM merupakan manifestasi dari minimnya budaya empati.
Dari hasil uji meta-analisis diketahui bahwa empati yang rendah berhubungan dengan tingginya agresi (Zych et al., 2019).
Apakah itu empati?
Empati merupakan kondisi mental di mana individu mampu untuk merasakan pikiran, perasaan, atau keadaan yang sama dengan orang lain.
Empati berperan penting dalam meningkatkan kepedulian individu terhadap hak, perasaan, serta kesejahteraan orang lain.
Jika menggerakkan masyarakat yang lebih berempati, sangat penting bagi masing-masing individu untuk meningkatkan kapasitas alaminya, sehingga dapat memperkuat ikatan antarindividu, komunitas, nasional, hingga internasional.
Memahami bagaimana empati berkembang pada diri manusia dapat ditinjau dari adanya empati reflektif yang merupakan potensi bawaan sejak lahir untuk dapat menanggapi rasa sakit dari orang lain.
Bagian dari otak manusia atau cerebral cortex yang khususnya dinamakan anterior insular cortex, bertanggung jawab atas perkembangan empati pada diri manusia (Tuarez, 2021).
Empati reflektif yang sangat terkait dengan area di otak manusia ini memberikan pengalaman adanya rasa sakit secara emosional.