Saya mau tamasya berkeliling keliling kota
hendak melihat-lihat keramaian yang ada
Saya panggilkan becak
kereta tak berkuda
becak becak tolong bawa saya
Saya duduk sendiri sambil mengangkat kaki
melihat dengan asyik ke kanan dan ke kir
lihat becakku lari
bagaikan tak berhenti
becak becak jalan hati-hati
Lagu “Naik Becak” mahakarya Ibu Soed menjadi bagian melekat kehidupan sehari-hari pada masa kanak-kanak saya, sebab setiap hari saya naik becak untuk pergi-pulang dari rumah ke sekolah.
Pada hakikatnya kendaraan roda tiga yang disebut sebagai becak merupakan satu di antara sekian banyak warisan kebudayaan Nusantara yang kemudian disebut sebagai Indonesia.
Baca juga: Naik Becak di New York, Ussy Sulistiawaty dan Andhika Pratama Bayar Rp 14,5 Juta
Nahas tak tertolak, mujur tak terjangkau. Atas nama modernisasi, becak kemudian dilarang lalu-lalang di jalan raya kota Jakarta pada masa Orba. Becak dilarang dengan alasan merusak tata tertib lalu lintas, sementara yang merusak tata tertib lalu lintas sebenarnya bukan hanya becak tetapi juga kendaraan bermotor dengan roda dua apalagi empat.
Setelah becak dilarang terbukti lalu lintas kota Jakarta alih-alih makin lancar malah makin macet. Becak sedemikian dibenci oleh pemerintah sehingga dituduh sebagai kendaraan tidak pancasilais, sebab dianggap melanggar sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Sementara menurut sang pejuang kemanusiaan pembela para becakiawan, Sandyawan Sumardi yang kemudian dilanjutkan oleh Wardah Hafids, becak justru merupakan kendaraan rakyat dari rakyat untuk rakyat bahkan potensial sebagai sumber nafkah bagi para pengemudi becak.