Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Pemimpin Harus Mau Mendengarkan

Kompas.com - 05/01/2022, 17:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENJADI seorang pemimpin bukan hal yang mudah karena selain menjadi faktor penentu bagi kemajuan dan keberlanjutan suatu organisasi, segala tindakan baik berupa kebijakan maupun keputusan yang diambil seorang pemimpin akan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan banyak orang.

Namun sayangnya, menjadi seorang pemimpin kerap disalahpahami sebagai sang empunya kekuasaan, yang seolah-olah memiliki privilege penuh untuk memerintah. Bahayanya lagi, kekuasaan tersebut secara politis digunakan untuk mendominasi orang lain tanpa memperhatikan dampaknya terhadap keberlanjutan organisasi di masa yang akan datang.

Baca juga: Kenali Bedanya Mendengar dan Mendengarkan

Padahal, dalam memajukan organisasi seorang pemimpin tidak mungkin bekerja sendirian, melainkan bersama tim karena seperti kata Alfred North Whitehead, “Tidak ada satu orang pun yang berhasil meraih keberhasilan tanpa bantuan dari orang-orang lain”.

Oleh karena itu, dari pemahaman ini, kita bisa mengambil suatu pelajaran penting tentang kualitas pemimpin yang baik, salah satunya adalah kemampuan mendengarkan pendapat orang lain yang bisa digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan dalam hal pengambilan keputusan yang tepat.

‘Mendengar’ bukan berarti ‘mendengarkan’

Mendengar (hearing) dengan mendengarkan (listening to) adalah dua hal yang berbeda. Jika kita ‘mendengar’, kita hanya akan terfokus pada sumber bunyi berupa kata-kata. Namun jika kita ‘mendengarkan’, artinya kita benar-benar menyimak secara seksama dengan tujuan memahami maksud dan tujuan dari lawan bicara.

Elle Kaplan dalam artikel berjudul "The Power of Listening" yang ditulis oleh Jonathan H Westover (2020) menjelaskan bahwa kemampuan menyimak yang efektif harus dibarengi dengan fokus yang bersifat intensional ketimbang hanya mendengar arti kata-katanya dari lawan bicara kita.

Dengan kata lain, menyimak bukan hanya sekedar mendengar kata-kata dari lawan bicara tetapi memahami dengan tujuan mengerti informasi dan kebutuhan secara akurat karena menyimak dengan baik artinya kita sedang menunjukkan empati, menunjukkan keperdulian, dan berusaha untuk mengerti kondisi lawan bicara.

Penulis buku The Seven Habits of Highly Effective People, Stephen E Covey berargumen bahwa umumnya kebanyakan orang tidak benar-benar mendengarkan dengan tujuan memahami maksud, tetapi hanya sekedar membalas lawan bicara yang seolah menunjukkan bahwa ia aktif dalam sebuah percakapan.

Apa yang disampaikan oleh Covey mungkin dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja seseorang yang menganggap dirinya ‘benar’ dan paling tahu segalanya sehingga pendapat orang lain tidak dianggap penting dan bermakna.

Hal ini bisa saja terjadi dalam relasi kerja, relasi antara orangtua dan anak, pertemanan, percintaan, dan relasi lainnya. Parahnya lagi, rasa enggan mendengarkan pendapat orang lain dapat menjadi faktor pemicu yang memunculkan konflik antar sesama manusia.

Baca juga: 8 Alasan Anak Tidak Mau Mendengarkan Kita dan Cara Mengatasinya

Dalam teori sosial, kemampuan mendengarkan juga bisa dikaitkan dengan adanya relasi kuasa. Filsuf posmoderenis Perancis, Michel Foucault mengatakan bahwa di setiap relasi atau hubungan sosial selalu ada unsur kekuasaan di dalamnya yang posisinya tidak pernah setara dan hal ini yang memungkinkan salah satu subjek yang merasa memiliki kekusaan lebih memiliki ego tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.

Artinya, penyalahgunaan kekuasaan ini bisa saja terjadi di berbagai lingkungan sosial misalnya saja di lingkungan kantor yang toksik. Pimpinan yang kerap kali merasa dirinya memiliki posisi tertinggi dalam struktur berpotensi merasa dirinya paling ‘benar’ dan cenderung berjalan sendiri serta sering mengabaikan pendapat karyawannya.

Hal yang sama juga bisa terjadi di lingkungan pendidikan yang menempatkan guru pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan peserta didik, bahayanya di lingkungan pendidikan yang feodalistik, guru akan berpotensi berperan sebagai sumber kebenaran (source of truth) yang sangat anti-kritik dan abai terhadap masukkan dari peserta didik.

Sehingga yang terjadi adalah kualitas siswa yang tidak percaya diri dan tidak kritis-inovatif-solutif karena merasa selalu disalahkan oleh gurunya, dan jika ini terjadi di banyak tempat kita bisa membayangkan betapa buruknya kualitas sumber daya manusia di masa depan.

Begitu juga yang pernah terjadi dalam sistem politik nasional, di rezim Orde Baru kekuatan militerisik yang sangat represif menutup keran kebebasan berpendapat publik kepada pemimpin negara dan keengganan pemerintah untuk mendengarkan suara-suara rakyat, khususnya kelompok minoritas selama 32 tahun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Dortmund Panen Kecaman setelah Disponsori Rheinmetall, Pemasok Senjata Perang Israel dan Ukraina

Dortmund Panen Kecaman setelah Disponsori Rheinmetall, Pemasok Senjata Perang Israel dan Ukraina

Tren
Murid di Malaysia Jadi Difabel setelah Dijemur 3 Jam di Lapangan, Keluarga Tuntut Sekolah

Murid di Malaysia Jadi Difabel setelah Dijemur 3 Jam di Lapangan, Keluarga Tuntut Sekolah

Tren
Sosok Calvin Verdonk, Pemain Naturalisasi yang Diproyeksi Ikut Laga Indonesia Vs Tanzania

Sosok Calvin Verdonk, Pemain Naturalisasi yang Diproyeksi Ikut Laga Indonesia Vs Tanzania

Tren
Awal Kemarau, Sebagian Besar Wilayah Masih Berpotensi Hujan Lebat dan Angin Kencang, Mana Saja?

Awal Kemarau, Sebagian Besar Wilayah Masih Berpotensi Hujan Lebat dan Angin Kencang, Mana Saja?

Tren
Mengenal Gerakan Blockout 2024 dan Pengaruhnya pada Palestina

Mengenal Gerakan Blockout 2024 dan Pengaruhnya pada Palestina

Tren
Korea Utara Bangun 50.000 Rumah Gratis untuk Warga, Tanpa Iuran seperti Tapera

Korea Utara Bangun 50.000 Rumah Gratis untuk Warga, Tanpa Iuran seperti Tapera

Tren
Menggugat Moralitas: Fenomena Perselingkuhan di Kalangan ASN

Menggugat Moralitas: Fenomena Perselingkuhan di Kalangan ASN

Tren
5 Fakta Kasus Mobil Mewah Pakai Pelat Dinas Palsu DPR, Seret Pengacara Berinisial HI

5 Fakta Kasus Mobil Mewah Pakai Pelat Dinas Palsu DPR, Seret Pengacara Berinisial HI

Tren
Beli Elpiji Wajib Pakai KTP, Pertamina: Masyarakat yang Belum Daftar Masih Dilayani

Beli Elpiji Wajib Pakai KTP, Pertamina: Masyarakat yang Belum Daftar Masih Dilayani

Tren
Kata PBB, Uni Eropa, Hamas, dan Israel soal Usulan Gencatan Senjata di Gaza

Kata PBB, Uni Eropa, Hamas, dan Israel soal Usulan Gencatan Senjata di Gaza

Tren
Beda Kemenag dan MUI soal Ucapan Salam Lintas Agama

Beda Kemenag dan MUI soal Ucapan Salam Lintas Agama

Tren
Orang dengan Gangguan Kesehatan Ini Sebaiknya Tidak Minum Air Kelapa Muda

Orang dengan Gangguan Kesehatan Ini Sebaiknya Tidak Minum Air Kelapa Muda

Tren
BMKG: Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 2-3 Juni 2024

BMKG: Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 2-3 Juni 2024

Tren
[POPULER TREN] Harga BBM Pertamina per 1 Juni 2024, Asal-usul Kata Duit

[POPULER TREN] Harga BBM Pertamina per 1 Juni 2024, Asal-usul Kata Duit

Tren
Bagaimana Cahaya di Tubuh Kunang-kunang Dihasilkan? Berikut Penjelasan Ilmiahnya

Bagaimana Cahaya di Tubuh Kunang-kunang Dihasilkan? Berikut Penjelasan Ilmiahnya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com