Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Analisis Terbaru BMKG soal Rentetan Gempa di Banyubiru, Ambarawa, dan Salatiga

Kompas.com - 24/10/2021, 16:15 WIB
Retia Kartika Dewi,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Gempa dengan kekuatan Magnitudo 3,0 mengguncang Banyubiru, Ambarawa, dan Salatiga, Jawa Tengah, pada Sabtu (23/10/2021) pukul 00.32 WIB.

Guncangan kembali terjadi berkali-kali di wilayah yang sama hingga Minggu (24/10/2021). 

Berdasarkan hasil monitoring Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sejak Sabtu dinihari hingga Minggu (24/10/2021) pukul 10.00 WIB sudah tercatat sebanyak 32 kali aktivitas gempa di Banyubiru, Ambarawa, Salatiga, dan sekitarnya.

Koordinator Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan, seluruh gempa yang terjadi memiliki magnitudo kecil, bahkan tidak ada yang melebihi magnitudo 3,5.

"Gempa paling banyak terjadi memiliki magnitudo kurang dari 3,0 dengan magnitudo terkecil yang dapat dianalisis adalah gempa dengan magnitudo 2,1," ujar Daryono saat dihubungi Kompas.com, Minggu (24/10/2021).

Baca juga: Mengenal Gunung Telomoyo yang Jadi Pusat Sesar Rentetan Gempa Salatiga

Seluruh gempa yang terjadi merupakan gempa sangat dangkal dengan kedalaman kurang dari 30 kilometer.

Daryono menyebutkan, gempa paling banyak terjadi berada pada kedalaman kurang dari 10 kilometer, dengan gempa terdangkal berada pada kedalaman 3 kilometer yang terjadi sebanyak 3 kali.

Gempa swarm

Ia menjelaskan, berdasarkan data parameter gempa yang terjadi sejak Sabtu dini hari, tampak bahwa berdasarkan sebaran temporal magnitudo gempa, maka fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai gempa swarm.

Gempa swarm dicirikan dengan serangkaian aktivitas gempa bermagnitudo kecil dengan frekuensi kejadian yang sangat tinggi, berlangsung dalam waktu “relatif lama” di suatu kawasan, tanpa ada gempa kuat sebagai gempa utama (mainshock).

Apa penyebab gempa swarm?

Daryono memaparkan, umumnya penyebab gempa swarm antara lain berkaitan dengan transpor fluida, intrusi magma, atau migrasi magma yang menyebabkan terjadinya deformasi batuan bawah permukaan di zona gunung api.

"Gempa swarm memang banyak terjadi karena proses-proses kegunungapian," ujar Daryono.

Selain berkaitan dengan kawasan gunung api, beberapa laporan menunjukkan bahwa aktivitas swarm juga dapat terjadi di kawasan nonvulkanik (aktivitas tektonik murni), meskipun kejadiannya sangat jarang.

Gempa swarm juga dapat terjadi di zona sesar aktif atau kawasan dengan karakteristik batuan yang rapuh sehingga mudah terjadi retakan.

Baca juga: Analisis Gempa Terkini Magnitudo 5,3 di Malang, BMKG: Bukan Megathrust


Disebut berkaitan dengan tectonic swarm

Terkait fenomena swarm yang mengguncang Banyubiru, Ambarawa, Salatiga, dan sekitarnya, Daryono mengatakan, ada dugaan jenis swarm tersebut berkaitan dengan fenomena tektonik (tectonic swarm).

Sebab, zona ini cukup kompleks berdekatan dengan jalur sesar Merapi Merbabu, Sesar Rawapening dan Sesar Ungaran.

"Dugaan tektonik swarm ini tampak dari bentuk gelombang geser (shear wave) yang sangat jelas dan nyata menggambarkan adanya pergeseran 2 blok batuan secara tiba-tiba," kata Daryono.

Ia menjelaskan, tectonic swarm umumnya terjadi karena adanya bagian sesar yang mengalami rayapan (creeping). Hal ini menyebabkan deformasi aseismik atau bagian/segmen sesar yang tidak terkunci (locked) bergerak perlahan seperti rayapan (creep).

Mengenai gempa swarm yang terjadi di Banyubiru, Daryono mengatakan, fenomena ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.

"Ini juga menjadi tantangan bagi para ahli kebumian kita untuk mengungkap penyebab sesungguhnya," lanjut dia.

Gempa swarm sebelumnya

Fenomena gempa swarm ini bukan sekali terjadi di Indonesia.

Sebelumnya, gempa swarm pernah terjadi beberapa kali, di antaranya:

  • Klangon, Madiun pada Juni 2015
  • Jailolo, Halmahera Barat pada Desember 2015
  • Mamasa, Sulawesi Barat pada November 2018

Menurut Daryono, masa berakhirnya aktivitas swarm berbeda-beda, dapat berlangsung selama beberapa hari, beberapa minggu, beberapa bulan, hingga beberapa tahun.

Untuk gempa swarm Mamasa Sulawesi Barat mulai terjadi sejak akhir tahun 2018 dan masih terus terjadi hingga saat ini.

Dampak gempa swarm

Menilik fenomena gempa yang terjadi secara terus-menerus, Daryono mengatakan, dampak gempa swarm bisa menjadi keresahan warga jika kekuatan gempa cukup signifikan.

"Masyarakat diimbau untuk tidak panik tetapi waspada," ujar Daryono.

"Terjadinya fenomena gempa swarm ini setidaknya menjadikan pembelajaran tersendiri untuk masyarakat, karena aktivitas swarm memang jarang terjadi," lanjut dia.

Dari beberapa fenomena gempa swarm yang terjadi, Daryono menyebutkan, gempa ini sebenarnya tidak membahayakan jika bangunan rumah di zona swarm tersebut memiliki struktur yang kuat.

Namun, jika struktur bangunan lemah maka dapat menyebabkan kerusakan bangunan rumah seperti yang saat ini sudah terjadi pada beberapa rumah warga di Banyubiru dan Ambarawa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com