Tentu saja, semua ini adalah upaya pengukuran holistik yang bergantung pada banyak faktor, khususnya konteks setempat masyarakat pengguna yang berbeda dari satu negara ke negara lainnya.
Dengan kata lain, sebagaimana pernah disinggung di awal, digital trust itu tidaklah bersifat monolitik. Skor tinggi dalam penelitian ini sama sekali tidak menjamin bahwa hal itu akan berlaku sama dalam aspek lain yang diukur.
Misalnya, Belanda menempati peringkat 1 dalam Sikap dan Swiss menempati peringkat 2 dalam Lingkungan, sementara keduanya mendapat skor rendah dalam Perilaku; demikian pula, China berada di peringkat 1 dalam Perilaku pengguna, tetapi mendapat skor jauh lebih rendah di Lingkungan atau ekosistem digital.
Dalam konteks Indonesia, selama ini banyak fokus cenderung diarahkan pada peran penjamin kepercayaan yaitu pemerintah dan lembaga yang membangun dan mengatur ekosistem digital kita.
Disadari atau tidak, sebagaian besar di antara kita sedikit abai bahwa pengguna sendiri juga memiliki peran utama dalam menumbuhkan kepercayaan pada digital trust ekosistem digital kolektif kita.
Ketika datang ke dunia digital, bukan hanya perusahaan yang menciptakan industri, dan bukan hanya regulator yang menentukan keamanannya, tetapi seyogyanya kita makin menyadaari bahwa sebagian besar konten digital dibuat oleh dan dari pengguna.
Sehingga, sebagian besar keamanan dan privasi data bergantung pada bagaimana pengguna individu terlibat dengan sistem ini.
Ada banyak seruan baru-baru ini untuk meningkatkan regulasi data dan konten, tetapi sama pentingnya bagi pembuat kebijakan dan teknolog untuk berinvestasi dalam membangun kesadaran akan risiko siber dan informasi yang salah di antara pengguna.
Ini dapat berupa lokakarya profesional, kursus literasi data, atau bahkan kelas pendidikan media yang diarahkan untuk menumbuhkan kebiasaan baik sejak dini.
Namun, sekali lagi tetap perlu kita pahami bersama bahwa kepercayaan digital bukanlah konsep yang statis belaka, bila suatu level tertentu tercapai maka seterusnya akan berlaku demikian? Tidak!
Berbagai upaya dan intervensi pembangunan kepercayaan digital mana pun — baik di tingkat institusional maupun individu — haruslah bersifat proaktif, berwawasan ke depan, dan disesuaikan dengan dinamika perubahan perilaku, sikap, pengalaman, dan lingkungan unik ekosistem digital yang dipergunakan.
Mewujudkan suatu kepercayaan digital demi kemashalatan bersama adalah never ending journey, tetap semangat gaes!