Ada suatu provinsi yang memiliki anggaran kehumasan mencapai angka Rp 55 miliar rupiah, padahal daerahnya masih menduduki tiga besar angka kasus positf covid tertinggi, tingkat keterisian kamar rumah sakit (BOR) yang maksimal serta angka kematian yang besar.
Andai saja dana kehumasan di-refocusing untuk penanganan covid, niscaya pamor dan pencitraan gubernur masih tetap moncer mengilat. Toh dia dianggap sebagai kepala daerah yang sukses menangani pandemi covid di daerahnya.
Di daerah lain, ada kepala daerah yang keukeh bin ngotot menyelenggaran lomba balapan mobil listrik. Penyelenggaraan berbiaya puluhan milar rupiah itu sepertinya dianggap sangat maha penting. Jauh lebih penting ketimbang penyiapan lahan pemakaman cadangan untuk jenazah Covid-19 atau penyediaan krematorium jenazah yang sedang kritis.
Seiring dengan masih besarnya angka kematian harian, ketersedian lahan-lahan pemakaman umum dan fasiltas krematorium yang sudah over capacity butuh penanganan segera.
Pengalaman penulis yang pernah terlibat menyisir penggunaan anggaran dalam APBD 2021 suatu provinsi, masih menyisahkan titipan syahwat kekuasaan dari pejabat berupa penggunaan anggaran untuk kepentingan pribadi kepala daerah yang dikemas dalam pos-pos belanja kedinasan.
Jika kepala daerah bisa bertindak semaunya, tentu anak buah di dinas-dinas juga mengikuti dan menterjemahkan kebijakan pemimpinnya.
Paradigma perjalanan dinas yang mendominasi pos anggaran dinas mampu mengalahkan pos anggaran yang langsung menyentuh kepentingan rakyat.
Ada suatu pos kegiatan dinas bernilai Rp 250 juta rupiah, Rp 200 juta diantaranya sudah “habis” untuk membiayai perjalan dinas dan studi banding.
Sisanya yang Rp 50 juta masih dikurangi lagi dengan biaya pembaca doa dan pemandu acara kegiatan (MC). Betapa miris!
Jangan heran jika hingga hari ini Kementerian Keuangan masih menemukan lambatnya pemerintah daerah dalam menyalurkaan bantuan langsung tunai desa (Kompas.com, 22 Juli 2021).
Baca juga: Sri Mulyani: Bantuan untuk Warga Desa Rp 300.000 Per Bulan Mandek di Pemda
Ada anggaran Rp 28,8 triliun atau 30 persen dari Dana Desa yang total berjumlah Rp 72 triliun yang disalurkan pemerintah pusat untuk bantuan masyarakat.
Dengan angggaran sebesar itu, harusnya warga bisa menerima bantuan Rp 300 ribu per bulan selama setahun penuh.
Masih ada pola pikir kepala daerah yang cuek dengan kondisi daerah. Yang dipikirkan adalah keberlangsungan jabatannya di periode selanjutnya.
Sementara para bawahannya masih ber-mindset harus ada tambahan penghasilan dari setiap program yang dikerjakan.