Saat awal-awal pandemi, masyarakat juga mengalami panic buying dengan ditimbunnya masker yang berdampak pada mahalnya harga masker.
Sosiolog dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menilai, kepanikan yang terjadi di masyarakat semacam ini merupakan demonstration effect.
Hal ini terjadi karena adanya peniruan dari orang lain yang melihat orang lain berbondong-bondong membeli suatu produk.
Menurut dia, hal ini bisa dipengaruhi adanya informasi negatif yang berkembang di masyarakat.
"Artinya ada informai yang mendorong terjadinya rush. Informasi negatif itu maksudnya bukan menjelek-jelekan, itu informasi yang tersebar tapi tidak sesuai dengan realitas yang terjadi," jelas dia dikutip dari Kompas.com, 4 Juni 2021.
Ia menyebut panic buying sebenarnya bisa dicegah dengan kontrol informasi.
"Kecuali barang itu mengalami kelangkaan sebenarnya, misalnya oksigen itu kan pabriknya dibandingkan kebutuhan rumah sakit kan tidak seimbang," ujar dia.
"Itu yang real. Jadi harus dipisahkan antara panic buying karena demonstration efect dan punic buying karena barangnya dibutuhkan dan tidak ada," lanjut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.