Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal "Daddy Issue", Ini Penjelasan Psikolog

Kompas.com - 25/06/2021, 15:30 WIB
Rosy Dewi Arianti Saptoyo,
Rendika Ferri Kurniawan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Warganet ramai memperbincangkan masalah daddy issue di media sosial.

Daddy issue dikaitkan dengan penggambaran seseorang yang memiliki trauma atau karakter yang terbentuk akibat hubungan buruk dengan ayahnya.

Salah satunya seperti tweet dari @AREAJULID yang jadi perbincangan warganet, yang diunggah pada Rabu (23/6/2021) pukul 12.53 WIB. Tweet ini medapat 293 balasan, 339 retweet dan 1.421 like.

Unggahan itu menyertakan beberapa stigma negatif terhadap orang yang mengalami daddy issue.

"Loh ko malah nyalahin orang yang punya "Daddy issue" ? Dan juga bukannya yang kayak Daddy issue gak cuma terjadi di cewe aja ya?" tulis dia.

Lantas, apa itu daddy issue?

Baca juga: Viral, Kisah Hasil Menabung Setelah Berhenti Merokok, Ini Ceritanya

Penjelasan psikolog

Psikolog Tika Bisono, S.Psi, M.Psi.T mengatakan, daddy issue berkaitan dengan kajian psikoanalisis soal ayah, yang pernah dibahas Sigmund Freud dalam teori Oedipus Complex.

Freud dikenal sebagai Bapak Psikoanalisis, yang juga merupakan tokoh ternama alam dunia psikologi.

Oedipus Complex mengungkapkan teori tentang tahap-tahap perkembangan psikoseksual, yang menggambarkan perasaan keinginan anak terhadap orang tua lawan jenisnya dan kecemburuan serta kemarahan terhadap orang tua sesama jenis.

"Freud pernah membahas ini. Jadi anak-anak kecil itu ada kalanya enggak suka sama ayahnya," kata Tika, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (25/6/2021).

Namun, menurut Tika, dalam perkembangannya, psikolog ianalisis sudah beralih ke ranah eksistensialis dan tingkah laku.

"Kaitannya dengan masalah-masalah traumatik yang berkaitan dengan ayah. Jadi kalau pengalaman traumatik yang sumber masalanya adalah ayah," jelas dia.

Baca juga: Viral, Video Anak Terapung di Laut Selama 3 Jam Diselamatkan TN AL, Ini Kronologinya

Penyebab

Tika memberikan beberapa contoh penyebab daddy issue, misalnya pernikahan dini, hilangnya sosok ayah dalam keluarga, bahkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Misalnya, ibu yang mendapat KDRT dan pasrah.

"Kalau saya dipukul ya sudahlah, ini bentuk dari pengabdian saya (ibu). Nah, anak-anak tidak bisa kompromi dengan melihat ibunya bonyok," kata Tika.

Dalam hal ini, laki-laki yang melakukan kekerasan sudah gagal sebagai sosok suami sekaligus ayah. Anak-anak yang menyaksikan kekerasan akan mengalami trauma.

"Ayah jadi sosok yang tidak berdampak dalam hidupnya, atau sebaliknya bisa juga dia menjadi seperti ayahnya untuk balas dendam," tutur Tika.

Mencari sosok ayah

Lebih lanjut, Tika menyebut bahwa anak kemudian akan membandingkan sosok ideal seorang ayah yang ia dapat dari lingkungan luar.

Misalnya, sosok ideal yang dia tahu dari sekolah, ajaran agama, bahkan keluarga dan teman-temannya.

"Idealisme ayah ini bertentangan sekali dengan fakta ayah yang dia lihat di rumah kan. Di situlah kemudian mereka mulai membuat jarak, bahwa ayah yang benar gak seperti ini," jelas Tika.

Akhirnya, saat mulai tumbuh dewasa, anak itu akan mencari sosok ayah yang ideal menurutnya.

Pencarian sosok ayah ini memang tidak terbatas secara fisik, apakah itu laki-laki atau harus maskulin.

Baca juga: Viral, Video Mobil Goyang Saat Isi Bensin, Apa Sih Manfaatnya?

Penanganan

Dalam mencegah dan mengurangi dampak daddy issue, menurut Tika bisa dituangkan dalam hal positif, misalnya peringatan Hari Ayah.

Hari Ayah ini bisa sebagai bentuk penghormatan, promosi dan validasi peran ayah dalam keluarga.

"Daddy issue bisa dikaitkan dengan hal positif juga. Merayakan keayahan di tingkat atau level manapun, dalam artian bukan hanya ayah biologis," ujar Tika.

Adapun bagi seseorang yang ada masalah dengan daddy issue, bisa ditangani sesuai level keparahannya.

Jika belum terlalu parah, maka masalah ini bisa diatasi dengan bercerita ke teman dekat atau orang yang dipercaya.

"Kalau sudah level tengah ke tinggi, itu sudah harus ditangani profesional," ucap Tika.

Profesional yang dimaksud, yakni psikolog, pskiater, konselor dan orang-orang yang dia percaya, misalnya ustaz, ustazah, pastor, yang pendekatannya religius dan spriritual.

"Kalau levelnya sudah tinggi, penanganannya ya terapi, psikoterapi. Karena udah mulai melenceng gitu misalnya," imbuh Tika.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com