Ketika Golkar dibentuk pada 1969, yang menjadi senior mahasiswa di Bandung adalah Rahman Toleng.
Sebagai mahasiswa aktif, Wimar ikut menganjurkan membikin Golkar agar menjadi kekuatan alternatif.
Tetapi menjelang pemilu, ia keburu drop out, pergi ke AS untuk pindah studi, padahal ia masuk daftar calon legislatif pemilu pertama itu untuk wakil Jawa Barat dengan nomor urut 9 dari Golkar.
Sedangkan teman baiknya sejak mahasiswa, Sarwono Kusumaatmadja yang mantan Sekjen Golkar, Menteri Penertiban Apartur Negara dan Menteri Lingkungan Hidup, mendapat nomor urut 24.
Baca juga: Mengingat Kerusuhan Mei 1998, Bagaimana Kronologinya?
Setelah lulus dan meraih gelar BS dalam electrical engineering, MS dalam system analysis dan MBA dalam finance and investment dari George Washington University, AS pada 1975, Wimar kembali pulang ke Indonesia.
Sepulangnya dari AS, Wimar dipercaya menjadi dosen di ITB dan menolak ikut pemilu kedua pada 1977.
Pergolakan mahasiswa ITB menjelang Sidang Umum MPR 1977 berakhir dengan penahanan sejumlah mahasiswa dan Wimar menjadi satu-satunya dosen yang ikut ditahan tanpa diadili.
Wimar tidak suka disebut dengan istilah pejuang reformasi, sebab itu memerlukan pengorbanan.
"Padahal saya menyukai pekerjaan ini, it just comes naturally. Juga kita tahu istilah reformasinya yang sudah begitu sangat larut. Lalu saya agak tidak punya ilusi mengenai peran satu orang tanpa organisasi untuk mengubah semua. Saya senang mengkritik orang supaya orang mencari tahu sendiri, membentuk sikap sendiri. Ya itulah mencuri kejernihan dalam kerancuan. Jadi pejuang reformasi merupakan suatu kata yang terlalu besar, begitu juga pejuang Orde Baru," tuturnya.
Baca juga: Demo UU Cipta Kerja, Tindakan Kekerasan, dan Desakan Reformasi Kepolisian...