Kekuasaan di Myanmar saat ini diserahkan kepada panglima tertinggi Min Aung Hlaing.
Ia adalah sosok yang selama ini memiliki pengaruh politik signifikan, berhasil mempertahankan kekuatan Tatmadaw (militer Myanmar) meskipun saat negara itu dalam transisi menuju demokrasi.
Sosok Min Aung Hlaing adalah sosok yang menerima kecaman dan sanksi internasional atas dugaan perannya dalam serangan militer terhadap etnis minoritas.
Usai kudeta, ia mengeluarkan komentar publik pertamanya yang berupaya membenarkan tindakannya dengan menyebut militer berada di pihak rakyat dan akan membentuk demokrasi yang benar dan adil.
Ia menyebut, militer akan mengadakan pemilihan yang bebas dan adil usai keadaan darurat selesai.
Baca juga: Kudeta Militer, Berikut Kondisi WNI dan Kontak Darurat KBRI di Myanmar
Aksi demonstrasi masyarakat Myanmar terjadi menanggapi adanya kudeta ini.
Demonstrasi terbesar yang terjadi yakni peristiwa yang disebut dengan Saffron Revolution pada 2007 saat ribuan biksu bangkit memprotes rezim militer.
Aksi demonstrasi kali ini dilakukan termasuk oleh guru, pengacara, murid, pegawai bank dan pegawai pemerintahan.
Melansir Kompas.com (12/2/2021), Jenderal Min Aung Hlaing mengancam akan memberlakukan “tindakan efektif” kepada para demonstran jika mereka tidak berhenti melakukan aksinya dan kembali bekerja.
Pada kamis (11/2/2021) malam, Min Aung Hlaing telah menyerukan agar para pegawai negeri kembali bekerja usai melakukan pemogokan nasional.
Baca juga: Daftar Negara dengan Militer Terkuat di Dunia 2021, Indonesia Juara 1 di ASEAN, 20 Besar di Dunia