Berdasarkan verifikasi Kompas.com sejauh ini, informasi ini tidak benar.
Hasilnya, teori mengenai mikrochip ini telah lama menyebar tak hanya di Indonesia namun juga di luar negeri.
Mengutip dari Business Insider, (22/12/2021) mitos microchip RFID ini kemungkinan mucul dari adanya ide terkait rencana pembuatan kemasan jarum suntik yang menggunakan teknologi.
Ide tersebut muncul dalam wawancara sebuah wawancara antara Jay Walker Ketua Eksekutif pembuat jarum suntik Apiject di stasiun TV CBN.
Dalam wawancara asli disebutkan bahwa perusahaan memiliki ide menempel chip RFID.
Namun penempelan itu dilakukan di bagian luar kemasan jarum suntik, bukan dimasukkan ke dalam vaksin.
Maksud dari ide penggunaan chip RFID adalah dirancang untuk membedakan vaksin asli dari yang palsu, atau dosis kedaluwarsa dan untuk mengetahui kapan suntikan dapat digunakan.
Steve Hofman yang merupakan Juru Bicara Apiject mengatakan sebagaimana dikutip dari Reuters, sejauh ini belum ada produsen vaksin yang meminta label menggunakan chip RFID demikian.
Efek vaksin
Sementara itu, terkait dengan penyebutan efek jangka pendek vaksin dalam tangkapan layar yang dapat menyebabkan lumpuh dan meninggal, serta efek jangka panjang menimbulkan wabah baru adalah tidak benar.
Hal ini karena vaksin sebelum disuntikkan kepada masyarakat luas telah melalui tahap pengujian.
Yakni dimulai dari uji pada hewan yang dilanjut dengan uji klinis tahap 1, 2, dan tahap 3 di mana tahapan tes tersebut memantau bagaimana keamanan vaksin sekaligus manfaat atau efikasinya.
Dari penelusuran Kompas.com informasi yang menyebut vaksin berisi robot nano dan chip RFID dan memiliki efek lumpuh, meninggal dan menyebabkan wabah adalah tidak benar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.