Seketika itu pecahlah jerit tangis di Bandara Juanda, Surabaya, tempat berkumpulnya keluarga penumpang Air Asia.
Dapat kita bayangkan perasaan mereka saat menyaksikan berita tersebut. Penayangan berita itu mendapatkan kecaman karena mengabaikan perasaan keluarga korban.
Pantti (2011) dalam artikelnya berjudul Disasster News and Public Emotion mengatakan, jurnalisme memiliki hubungan yang kompleks dengan ekspresi emosional publik karena menghadapi tantangan obyektivitas dan nilai-nilai profesional.
Dalam memberitakan musibah, jurnalis sering kali terpancing untuk masuk ke dalam jebakan hiburan (entertainment) dan sensasionalisasi peristiwa.
Menurut Pantti, hal itu tidak bisa dilepaskan dari komersialisasi yang kuat mempengaruhi kerja media.
Bekerja menjadi wartawan tak hanya menghadapi tekanan deadline, tetapi masih ditambah tekanan persaingan yang kian sengit.
Salah seorang rekan penulis yang aktif memimpin media daring menceritakan tekanan kompetisi sangat kuat karena media daring begitu banyak.
Dalam memenangkan persaingan traffic, sehari medianya harus bisa memproduksi lebih dari 2.000 item berita.
Untuk peliputan jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, mereka harus memproduksi banyak berita karena memiliki potensi traffic yang tinggi.
Meski demikian empati harus dikedepankan oleh media ketika memberitakan peristiwa musibah.
Wartawan harus memahami bahwa dalam peristiwa musibah ada trauma dan kesedihan yang tak pantas dieksploitasi.
Kata "empati" (empathy) berasal dari kata einfuhlung (Jerman). Secara harafiah kata tersebut berarti "merasa terlibat".
Empati sendiri didefinisikan sebagai sikap dan kemampuan untuk melihat dunia dari sisi orang lain.
Ibarat seorang dokter yang sedang mengobati pasiennya, si dokter harus bisa melihat dunia dari kacamata pasiennya (Prasetyo, 2019).
Jurnalisme empati adalah metode peliputan dengan melihat, mendengar, merasakan dari sisi narasumber. Bukan memberitakan sesuai keinginan pembaca atau wartawan.