Tanggal 9 September 2020, pukul 13.05, Sang Ilahi memanggil seorang hamba, Jakob Oetama, ke pangkuan-Nya. Tak ada yang berdaya untuk menunda panggilan itu.
Semua tabah dan pasrah menyerahkan Jakob Oetama, menghadap Sang Khalik, pemilik dirinya. Dari sana dia datang, dan kepada-Nya juga ia kembali.
Segala jejak yang ditorehkan selama masa hidupnya, satu per satu diungkap, sebagai panduan hidup, kompas perjalanan masa depan bangsa ini.
Jejak-jejak panjang itulah yang membuat kita bersedih mengiringi kepergian Jakob Oetama. Kita seolah telah kehilangan lentera yang menyinari kehidupan kita. Keutamaan Jakob Oetama, adalah posisinya sebagai pemandu bangsa.
Darah dagingnya adalah wartawan, institusinya adalah Kompas, bergabung searah antara tujuan dan proses mencapai tujuan, menjalankan perintah hati nurani rakyat. Dengan alur pikir seperti ini, kita gampang memotret sosok Jakob Oetama.
Ia seorang humanis sejati. Wilayah edarnya dalam penjelajahan kehidupan dunianya, adalah kemanusiaan. Dari pangkalan humanisme inilah Jakob Oetama memulai segala pergerakannya: pebisnis, dengan berbagai cabang bisnis, budayawan, manajer dan sebagainya.
Humanismelah yang menggerakkan dinamo pendiriannya bahwa esensi martabat manusia ditentukan oleh ada tidaknya kebebasan dan persamaan yang dimilikinya.
Maka, sangat tidak mengherankan, segenap usia yang dilewatinya, ia selalu berjuang menegakkan kebebasan. Karena ia seorang wartawan, maka garis edar perjuangannya tentang kebebasan, adalah kebebasan pers. Ia tidak berubah arah dari wilayah edar ini.
Seiring dengan perjuangannya tentang kebebasan, Jakob Oetama di saat yang berbarengan, juga berjuang dengan kapasitas yang sama dengan perjuangannya tentang kebebasan, yakni, perjuangan tentang persamaan.
Tema-tema kebebasan dan persamaan, dari dulu hingga sekarang, selalu diwacanakan atau diberi tempat, dengan berbagai bentuk: opini, tajuk rencana, berita utama, karikatur, foto, dan sebagainya.
Tema kebebasan dan persamaan yang mendarah daging dalam diri Jakob Oetama, selalu membuat adrenalinnya bergolak, kendati di tengah kerapuhan fisik yang sudah menderanya lantara usia yang senja.
Ia berjalan sendiri atau dipapah, namun, volume suara tidak pernah menurun, tatapan mata tetap menyorot tajam, pikiran jernih tetap mengalir. Semua lantaran kebebasan dan persamaan yang diperjuangkannya dari awal hingga ajal menjemputnya.
Bagi seorang Jakob Oetama, kebebasan yang dimiliki seseorang membuat dirinya berdaulat. Tanpa kebebasan, manusia tidak berdaulat, dan manusia tanpa kedaulatan, akan kehilangan martabat. Dan martabat inilah yang menjadi esensi manusia.
Namun, kebebasan tanpa persamaan, bisa juga jadi anarkis karena hanya dengan persamaan, kebebasan bermanfaat. Kebebasan tanpa dibarengi dengan prinsip persamaan, akan jadi anarkis karena semua berpacu ingin memiliki kebebasan dan mengabaikan kebebasan orang lain. Hanyalah dengan persamaan, klaim mutlak kepemilikan kebebasan, bisa direm.