Masalah lain yang dihadapi juga terkait distribusi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang hanya terkonsentrasi di Jawa dan kota-kota besar.
Menurut data yang disampaikan PB IDI, kematian dokter selama pandemi Covid-19 tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia.
Baca juga: Kisah Pasien Covid-19 di Depok Sulit Cari Rumah Sakit dan Terbelit Administrasi karena Swab Mandiri
Indikator keempat adalah tentang kapasitas testing. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan standar testing per minggu adalah 1 per 1.000 penduduk.
Dicky menyebut Indonesia serta banyak daerah di dalamnya, terutama provinsi-provinsi besar, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, masih jauh dari target WHO.
"Artinya belum optimal responsnya. Karena kalau tanpa tes, sekali lagi sangat mustahil kita bisa tahu siapa yang bawa virus dan siapa yang harus diisolasi. Kita masih jauh dari itu," kata Dicky.
Diberitakan Kompas.com, 3 September 2020, meskipun Covid-19 telah mewabah selama enam bulan sejak kasus pertama diumumkan 2 Maret 2020, namun kapasitas tes PCR masih di bawah standar WHO.
Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, dengan populasi 267 juta, setidaknya harus ada 267.000 orang yang dites per minggu. Namun, saat ini Indonesia baru mampu mengetes 95.000 orang per minggu.
Mengutip data dari KawalCOVID19, sampai dengan 21 September, jumlah orang yang dites adalah 1.743.000 dengan positive rate sebesar 16,82 persen. Sedangkan jumlah spesimen yang telah diperiksa yaitu 2.950.173.
Baca juga: 6 Bulan Pandemi, Kapasitas Tes Usap Masih Jauh di Bawah Standar WHO
Dicky mengatakan, indikator kelima untuk melihat respons penanganan Covid-19 di Indonesia adalah dengan mencermati acuan strategi penanganan.
Apakah tetap tidak konsisten dengan strategi eliminasi Covid-19 atau justru berfokus pada aspek ekonomi.
"Ini akan mengakibatkan ketidakoptimalan respons. Hal ini juga masih kita lihat, belum ada strategi yang komprehensif, yang firm, yang konsisten, yang juga memperkuat sistem kesehatan," kata Dicky.
Pada awal September lalu, Presiden Joko Widodo mengingatkan seluruh jajarannya untuk mengutamakan aspek kesehatan terlebih dahulu, daripada aspek pemulihan ekonomi dalam penanganan pandemi Covid-19.
Jokowi menegaskan, jika aspek pemulihan ekonomi didahulukan, maka akan timbul situasi yang berbahaya.
Namun, seperti diberitakan Kompas.com, 8 September 2020, Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan, pernyataan tersebut masih perlu dibuktikan
Menurut dia, selama 6 bulan penanganan pandemi virus corona di Indonesia, kebijakan pemerintah lebih berorientasi ke ekonomi daripada kesehatan, sehingga kontradiktif dengan pernyataan yang disampaikan Presiden.
Hal ini terlihat dari dibentuknya Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, yang sebagian besar digawangi oleh menteri-menteri bidang ekonomi.
Baca juga: Imbauan Presiden Itu Ditujukan ke Siapa?