KINERJA kabinet tengah jadi sorotan sejak Presiden Joko Widodo marah-marah kepada para menterinya dalam rapat kabinet di Istana Negara 18 Juni 2020 lalu.
Kemarahan tersebut seakan menjadi klimaks kejengkelan Presiden Jokowi atas kerja para menteri dalam menangani masalah pandemi Covid-19.
Kemarahan Jokowi 18 Juni lalu, menurut Menteri BUMN Erick Thohir, adalah yang paling keras dalam delapan bulan, atau sejak Jokowi memerintah untuk keduakalinya.
Para pakar gestur menganalisis, kemarahan Jokowi kali ini berada pada level tertinggi selama ini.
Jokowi saat itu memang tampak sangat emosional. Lontaran kalimatnya keras, emosinya dalam, ancamannya serius. Buah dari kejengkelan akumulatif. Ada masalah pada kerja para menteri yang tidak bisa ditutup-tutupinya lagi.
Kekecewaan atas kinerja para menteri dalam urusan Corona sejak lama beredar di publik, sejak virus itu menginvasi Indonesia. Para pembantu Presiden dikritik karena lemah dan lambat mengantisipasi masuknya Corona ke Indonesia.
Namun, di depan publik, Presiden justru terkesan pasang badan atas kerja menterinya.
Gerak lambat pemerintah terus terjadi. Lambat mendeteksi virus, lambat melokalisasi orang-orang, lambat menyalurkan bantuan, hingga lambat mengeksekusi anggaran.
Sampai akhirnya meledak kemarahan Presiden Jokowi yang mengancam akan mengganti para menteri.
Spekulasi reshuffle pun tak terhindari. Tak lama, beredar nama-nama menteri yang akan diganti. Pertemuan antarparpol juga terjadi, meski dikatakan tak ada hubungan dengan isu reshuffle.
Istana berupaya meredam isu reshuffle yang keburu merebak. Mensesneg Pratikno, Senin (6/7/2020), mengatakan dalam waktu singkat kabinet menunjukkan kemajuan kerja yang luar biasa pascateguran keras Presiden. Karenanya, reshuffle tak lagi relevan.
Kepentingan Istana untuk mengerem isu reshuffle bisa dipahami. Isu reshuffle bisa jadi kontraproduktif di tengah upaya mengatasi pandemi Covid-19 dan keterpurukan ekonomi.