Misalnya gempa yang mengguncang seluruh Jawa pada 4 Januari 1840 dan memunculkan gelombang tinggi yang diyakini sebagai tsunami, sesaat setelah guncangan berakhir.
Selanjutnya pada 20 Oktober 1859, gempa di selatan Pacitan juga menimbulkan tsunami yang menerjang wilayah Teluk Pacitan dan menewaskan 2 orang awak kapal.
Masih dari abad ke-19 tepatnya 10 Juni 1867, gempa lagi-lagi mengguncang Pacitan dengan intensitas VIII-IX MMI yang menyebabkan 500 orang tewas dan ribuan rumah rusak.
Lalu di abad ke-20, gempa besar tercatat terjadi di 11 September 1921 berkekuatan 7,6 M yang terasa hingga Sumatera dan Sumbawa. Gempa ini juga menyebabkan tsunami.
Gempa kembali terjadi pada 27 September 1937 dengan kekuatan 6,8 M yang merobohkan ribuan rumah dan banyak orang kehilangan nyawa.
"Catatan gempa kuat masa lalu semacam ini dapat menjadi data dukung kesiapsiagaan kita, bahwa gempa kuat memiliki periode ulang dengan periodesitas tertentu. Sehingga gempa kuat yang terjadi disuatu wilayah sangat mungkin dapat berulang kembali kejadiannya," jelas Daryono.
Baca juga: Gempa Pacitan M 5,0 Terasa hingga Yogyakarta, Tak Berpotensi Tsunami
Dosen Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Gayatri Indah Marliyani menyebut, seringnya terjadi gempa dengan kekuatan cukup besar magnitudo 5 sampai 6 di wilayah selatan Pacitan ini sebenarnya sebuah kabar yang baik.
Sebab menurut dia, kekuatan yang tersimpan dikeluarkan secara perlahan sehingga tidak menghasilkan guncangan yang dahsyat dan sangat membahayakan.
"Energi yang tertahan dilepaskan secara bertahap. Akan tetapi, untuk mengetahui berapa sebenarnya energi yang masih tersimpan dan yang sudah dilepaskan, harus terus dilakukan penelitian secara saksama dan terus-menerus," kata Gayatri dikutip dari Harian Kompas, Selasa (23/6/2020),
Dia menyebut, morfologi dasar laut wilayah selatan Pacitan memang terdapat tonjolan-tonjolan yang menjadi ganjalan berlangsungnya proses subduksi antar lempeng.
Sehingga wilayah ini menyimpan potensi kegempaan yang lebih tinggi dibanding wilayah laut selatan DIY.
Melihat potensi kegempaan yang nyata, sudah selayaknya masyarakat dipersiapkan untuk mitigasi bencana. Sehingga mereka tahu apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana.
Di antara semua upaya mensosialisasikan mitigasi bencana kepada masyarakat, yang paling penting untuk segera diterapkan adalah membuat tata ruang aman berbasis risiko tsunami.
"Dengan cara tidak membangun permukiman dan tempat usaha di pantai rawan tsunami. Selain itu masyarakat pesisir perlu memahami konsep evakuasi mandiri, dengan menjadikan gempa kuat yang dirasakan di pantai sebagai peringatan dini tsunami," kata Daryono.
Mengingat kondisi saat ini juga masih dalam suasana pandemi Covid-19, upaya mitigasi tentunya harus disesuaikan agar tetap bisa mengamankan jiwa masyarakat dari amukan bencana, sekaligus tetap menghindarkan mereka dari risiko penularan virus corona.
Baca juga: Lagu Pelangi sampai Legenda Nyi Roro Kidul demi Mitigasi Bencana