Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Abaikan PSBB, Akibat Tidak Sinkronnya Kebijakan Pemerintah?

Kompas.com - 21/05/2020, 08:03 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Virdita Rizki Ratriani

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pemerintah telah menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai strategi guna mencegah penyebaran virus corona penyebab Covid-19.

PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi virus corona untuk mencegah kemungkinan penyebaran makin meluas.

Sejumlah kegiatan yang melibatkan publik dibatasi, seperti perkantoran atau instansi diliburkan, pembatasan kegiatan keagamaan dan pembatasan transportasi umum.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menyatakan, ada banyak manfaat yang didapat dari pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Baca juga: Gubernur Riau, Kapolda hingga Danrem Turun ke Dumai Tinjau PSBB

Contohnya, mencegah munculnya kerumunan dan berbagai aktivitas publik yang berpotensi menjadi medium penularan Covid-19. Namun, nyatanya sebagian masyarakat masih mengabaikan aturan-aturan dari PSBB.

Seperti yang terjadi pada saat penutupan McD Sarinah. Lalu, penumpang yang membludak dan berdesak-desakan di Bandara Soekarno Hatta. Kemudian, kerumunan masyarakat yang tengah berbelanja di pasar dan supermarket tanpa adanya penerapan jarak fisik menjelang Idul Fitri.

Meski demikian, benarkah semua hal tersebut disebabkan oleh kesalahan masyarakat semata? Bagaimana peran pemerintah?

Sudahkah pemerintah memanajemen krisis Covid-19 dan mengomunikasinnya secara tepat kepada masyarakat?

Baca juga: Jika Ingin Kehidupan Normal, Masyarakat Diminta Patuhi PSBB Dua Minggu ke Depan

Tanggapan ahli

Menurut Gabriel Lele, Dosen Manajemen Kebijakan Publik (MKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, secara makro, Indonesia tidak memiliki risk governance yang jelas dalam seluruh lapis pemerintahan.

"Risk managementnya juga nyaris tidak ada. Semua dikelola dengan menggunakan logika normal. Begitu ada bencana atau krisis, baru direspon secara adhoc sehingga tampak tidak sistematis, tidak komprehensif, dan jauh dari tegas," kata Gabriel saat dihubungi Kompas.com (20/5/2020).

Gabriel juga menambahkan bahwa risk communication atau komunikasi krisis pemerintah juga terbilang lemah, terutama karena fragmentasi otoritas di pusat maupun daerah.

"Misalnya, data saja kita kesulitan. Data nasional bisa beda dengan data daerah, dan sebaliknya," kata Gabriel.

Baca juga: Yurianto: Relaksasi PSBB Masih Dikaji, Publik Jangan Salah Memaknai

Kebijakan pemerintah tidak sinkron

Selain itu, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah selama masa pandemi ini juga terlihat tidak sinkron seperti pelarangan mudik. Kebijakan ini menimbulkan polemik di masyarakat lantaran Presiden Joko Widodo menyebut bahwa mudik dan pulang kampung berbeda.

Kemudian, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan justru mengizinkan moda transportasi kembali beroperasi.

Pemerintah mensyaratkan bahwa moda transportasi hanya bisa dimanfaatkan oleh pekerja yang memiliki izin tugas ke luar daerah. Namun, masyarakat justru memanfaatkan celah aturan tersebut.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com