Di sana, Kardinah mencoba menyalakan mimpi kakaknya dengan mendidik kedua putrinya, juga putri-putri Bupati Pemalang ketika itu.
Sekitar 4 tahun berselang, suaminya diangkat menjadi Bupati Tegal. Kardinah pun menjadi sosok istri dari pejabat tertinggi di wilayah itu.
Hal ini menjadi kesempatan Kardinah untuk mewujudkan mimpi-mimpi Kartini dengan lebih leluasa, dengan kesempatan dan kuasa yang ketika itu ada di tangannya.
Ia pun mendirikan sekolah khusus untuk perempuan yang diberi nama Wisma Pranawa.
Namun, uang yang dimilikinya tidak cukup membiayai operasional sekolah tersebut.
Baca juga: 21 April, Selamat Ulang Tahun, Ibu Kartini...
Tak kehilangan akal, Kardinah pun membuka pasar malam di Alun-Alun Tegal dan menulis sejumlah buku yang hasilnya ia gunakan untuk menutup keperluan pembiayaan Wisma Pranawa.
Hal ini dilakukan Kardinah karena sekolah yang didirikannya itu tidak mendapat subsidi atau bantuan biaya dari Pemerintah Hindia Belanda.
Alasannya, karena menerapkan rencana pelajaran yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, bukan rancangan pelajaran yang dimiliki Belanda.
Namun, setelah 8 tahun, Kardinah sakit dan harus beristirahat atas saran dokter pribadinya.
Sekolah Wisma Pranawa pun mengalami kemunduran karena tidak ada yang bisa menggantikan kedudukan Kardinah dalam pengelolaan sekolah itu.
Kepengurusan Wisma Pranawa dialihkan ke pemerintah saat itu dan dijadikan Kopschool atau Sekolah Keputrian pertama di Indonesia.
Setelah kesehatannya pulih, Kardinah ternyata mendapati sekolah yang telah bubar itu masih memiliki sejumlah uang, yang akhirnya ia gunakan untuk membangun rumah sakit rakyat dan rumah miskin.
Tak berhenti di situ, Kardinah juga banyak membantu pengrajin perak yang sebelumnya bekerja di kawasan Pecinan dengan bayaran yang sangat rendah.
Para pengrajin akhirnya bisa mendapatkan penghasilan hingga 2 kali lipat berkat bantuan yang diberikan Kardinah.
Dengan pendapatan yang semakin banyak, Kardinah mengajarkan para pengrajin ini untuk menabung uang ke bank, dengan nama mereka masing-masing.