Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Nabila Larasati Pranoto dan "A Living Organism"

Kompas.com - 01/03/2020, 05:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Anda tentu sangat peduli pada isu lingkungan paling panas sepanjang abad ke-21: climate change, global warming, atau perubahan iklim, pemanasan global. Tetapi, sadarkah Anda bahwa mereka yang pertama kali terkena dampak paling berat adalah komunitas-komunitas yang tinggal di pinggir pantai? Karya Nabila Larasati Pranoto salah jawabannya.

Nabila menggugah kesadaran kita –terutama para pemimpin negeri- tentang bagaimana sebuah negara archipelago seperti Indonesia bisa menyelamatkan warganya yang tinggal di pesisir pantai. Utamanya, selamat dari musibah akibat pemanasan global, perubahan iklim dan gelombang air laut pasang.

Ajakannya justru bermula dari keinginan menerapkan ilmu yang diampunya. Inilah yang secara rumit dan komplet tetapi masuk akal, terangkum dalam gagasan yang diusung Nabila, dengan menggunakan kapabilitasnya sebagai arsitek lingkungan.

Pada 22 Januari 2020 lalu, tanpa banyak diberitakan media massa Indonesia sendiri, arsitek muda Indonesia yang bermukim di Singapura ini meraih penghargaan internasional tahunan bergengsi di bidang arsitektur lingkungan dari Jacques Rougerie Foundation, Prancis. Sayang seribu sayang, Duta Besar RI untuk Prancis tak hadir.

Diikuti desainer arsitektur dari berbagai negara, kompetisi ini dibuat untuk menanggapi tantangan perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut yang menjadi salah satu isu lingkungan paling ramai dalam beberapa tahun terakhir.

Dewan juri tahun ini dipimpin Dominique Perrault, arsitek dan urban planner Prancis; Claudie Haignere, politikus dan astronot; Justin Ahanhanzo, pakar Intergovernmental Oceanographic Commission UNESCO; dan Francis Rembert, Director of the Cite de l’Architecture.

Karya Nabila yang berjudul “A Living Organism”, menang 2019 Coup de Coeur Award kategori “Architecture and Sea level Rise” Leonardo da Vinci Promotion, mengalahkan peserta dari Denmark, USA, India, Namibia, Prancis serta ratusan peserta lainnya dalam seleksi awal. Indonesia sangat bangga, tentu saja.

Tahukah di mana plus point Nabila?

Nabila membawa kesadaran baru lewat karyanya. Mungkin sudah pula diusung para aktivis dan penggerak lingkungan kemaritiman secara luas, tetapi bedanya ia menggagas sesuatu yang riil dan detail. Ide, gagasan dan imajinasinya untuk bangsanya. Sederhananya, ia mengajak kita “menolong” masyarakat pinggir pantai lewat karya arsitektur ramah lingkungan.

“Karena generasi saya mulai peduli banget dengan environment dan pencegahan perubahan iklim, tapi gak banyak yang tahu kalau sekarang ini perubahan iklim sudah terjadi dan orang-orang yang pertama terserang dengan efek-efek buruknya itu ya orang-orang yang tinggal di desa perikanan dan pertanian di pinggir laut.”

Ini bukan pernyataan seorang aktivis lingkungan atau pengambil kebijakan. Ini suara Nabila Larasati Pranoto (23), perempuan arsitek Indonesia lulusan Singapore University of Technology and Design (SUTD) yang saya tanyai hanya lewat email beberapa hari lalu. Saya bertanya, dari mana ide gagasan ini muncul pertama kali.

Kesadaran untuk mengajak bergaya hidup hijau secara meluas, green life style, memang diakui Nabila bukan sesuatu yang baru.

Untuk orang-orang pinggir laut

“Awal mula saya mengusung tema ini adalah betul-betul desakan pribadi. Kita sering berkampanye serba-green dalam berbagai bentuknya. Jadi, tidak adil kalau kita hanya sibuk mengganti lifestyle kita menjadi green dan sustainable untuk mencegah perubahan iklim. Padahal, fenomena itu sudah terjadi untuk orang-orang pinggir laut dan belum ada solusinya untuk mereka,” begitu kata gadis kelahiran Jakarta yang menghabiskan masa kecil mulai usia 11 tahun, sampai dewasanya di Singapura. Lagi-lagi saya kagum pada keberpihakannya.

“Disain saya mengeksplorasi cara-cara untuk mereka (komunitas-komunitas pinggir laut-pen.) mampu menata-ulang kehidupan dan perekonomian dengan penggunaan teknologi, sehingga mereka bisa menghidupkan kembali mata pencaharian dengan hal-hal seperti aquaculture dan aquaphonics,” ujar Nabila yang menggunakan masyakat di delta Sungai Mekong sebagai objek penelitian sebelum turun dalam bentuk disain yang final.

Nabila juga mengedepankan karya ini sebagai caranya merespons kepedulian terhadap climate change dan sea level rise. Yaitu, dengan memberdayakan komunitas-komunitas yang bakal paling dirugikan dalam musibah banjir atau tsunami, juga kenaikan permukaan air laut.

Ia menggunakan imajinasinya yang dikolaborasikan dengan ilmu yang diampunya. Hasilnya, komunitas ini nanti akan tetap produktif dengan membangun sistem alternatif berbasis aquakultur, aquaponik, dan desalinasi air laut.

Baik aquakultur maupun aquaponik merujuk pada cara membudidaya atau memelihara ekosistem laut pendukung kehidupan manusia dengan memperhatikan flora-fauna unggulan pinggir pantai atau laut setempat.

“Apalagi saya berasal dari negara kepulauan seperti Indonesia yang punya banyak komunitas-komunitas yang hidup di pinggir laut,” jelasnya lagi.

Pulau Hijau sebagai pusat

Kepada saya, Nabila menunjukkan gambar disain karyanya lewat email. Pulau yang hijau di tengah itu dipakai sebagai central heart of the system, di mana kita bisa meletakkan wind farms dan sustainable energy generator yang akan didistribusikan ke sistem perdesaan dan sentra perikanan maupun pertanian di sekitarnya. Demikian penjelasan Nabila tentang gambar disain yang dikirimkannya lewat email kepada saya.

A Living Organism memiliki penjelasan resmi kepada para jurinya saat itu sebagai berikut:

The 21st century is seeing a growing wave of environmental anxieties. Dispelling the notion that we were in control, the earth’s natural forces are becoming increasingly volatile, threatening the very fabric of human existence. Using tools like fiction, infrastructure, and integrated hybrid systems, this project attempts to imagine new socio-ecological realities for humanity at the mercy of climate change. With Mekong Delta as a testing bed, I have developed a fictional narrative regarding a new system of living that empowers marginalised communities living at the threshold of climate change. Formerly a leading rice exporter in Southeast Asia, Mekong Delta is facing issues of salinity intrusion and sea level rise, threatening their productivity. Occupying their new reality, the Mekong Delta community would build a thriving alternative lifestyle upon the foundations of aquaculture, aquaponics and water desalination. The very people who are at the threshold of a global catastrophe shall be the pioneers of a new world order.

Jakarta akan tenggelam

Frasa-frasa seperti “Jakarta akan Tenggelam”, “Muka Tanah di Pulau Jawa turun jauh lebih banyak dibanding Tahun Lalu”, “Banjir Besar Jakarta, Semakin Hebat dibandung Tahun Lalu”, wara-wiri dalam judul koran kita belakangan ini. Bahkan semakin sering di awal tahun 2020.

Karya Nabila ini menaruh perhatian besar pada itu semua.

“Dengan meningkatnya kecemasan di sekitar isu perubahan iklim dan bencana-bencana alam, seperti di Jakarta baru saja banjir dan beritanya akan tenggelam, saya terinspirasi untuk melihat komunitas-komunitas pinggir laut yang sekarang sudah sangat vulnerable (terancam) dan endangered (kritis, terancam punah) dengan adanya perubahan iklim yang kini semakin terasa. Komunitas-komunitas inilah yang jarang diperhatikan. Padahal, mereka punya banyak potensi untuk survive dan eventually membangun kehidupan alternatif menggunakan alam yang sudah berganti ini,” demikian penjelasan Nabila.

Arsitek yang kini bekerja di Ong&Ong Singapura ini juga berharap bisa berkolaborasi dengan orang-orang dari bidang lain, seperti sosio-ekonomi, kesehatan, dan infrastruktur keselamatan, yang kesemuanya terkait dengan arsitektur lingkungan.

Memang zaman sekarang, dengan adanya krisis perubahan iklim, kebanyakan arsitek harus juga menjadi arsitek lingkungan. Tidak bisa lagi kita cuma membangun bangunan-bangunan yang terlihat indah, tetapi mereka –bangunan itu- harus kerja bersama dengan lingkungan. Trend-nya sekarang sudah ke arah itu.

“Pekerjaan saya sekarang tidak spesifik ke arsitek lingkungan karena saya masih sangat baru dan harus belajar banyak dalam teknik-teknik arsitektur yang konvensional. Tetapi, cita-cita saya setelah ini adalah memperdalam lagi research tentang arsitektur untuk sea level rise di tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Seperti di The Berlage di Belanda. Saya ingin bisa berkontribusi dalam isu penduduk di pinggir laut di Indonesia,” demikian Nabila yang baru saja melukis untuk sebuah sampul buku karya psikiater dan penulis, Nova Riyanti Yusuf.

Buku yang akan diterbitkan Penerbit Buku Kompas bulan Maret ini berjudul Jelajah Jiwa, Hapus Stigma. Autopsi Psikologis Dua Pelukis Bunuh Diri. Ia memang seniman tulen, selain juga arsitek. Saya menyertakan karya sampul bukunya ini bersama tulisan ini.

Saya lalu terpikir, kalau ini ide dan gagasan Nabila ini perlu digunakan Pak Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP-RI), Edhy Prabowo, untuk memberdayakan masyarakat pinggir pantai. Ini sungguh brilian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com