KOMPAS.com - Hari ini 12 tahun lalu, tepatnya 9 Februari 2008, tragedi konser musik di Gedung AACC, Bandung, Jawa Barat, merenggut korban jiwa sebanyak 11 orang.
Saat peristiwa terjadi, berlangsung konser musik underground yang digelar di Gedung Asia Africa Culture Centre, Bandung, Sabtu (9/2/2008) malam.
Pemberitaan Harian Kompas, 10 Februari 2008, menuliskan, awalnya diketahui 9 orang tewas, satu di antaranya perempuan.
Berdasarkan penyelidikan sementara kala itu, tragedi berawal setelah panitia konser membagi-bagikan minuman kepada pengunjung sekitar 15 menit sebelum konser selesai.
Dua hari kemudian, diketahui korban bertambah menjadi 11 orang.
Korban terakhir yang dilaporkan meninggal dunia adalah Entis Sutisna (23). Ia meninggal dunia pada 13 Februari 2008 setelah koma beberapa hari dan menjalani perawatan di RS Immanuel, Bandung.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Belasan Jemaah Haji Meninggal dalam Kebakaran Hotel di Madinah
Entis merupakan warga Kelurahan Cigugur Tengah, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi, yang terinjak-injak ketika terjadi kericuhan saat konser.
Menurut Aisyah, ibunda Entis, sebenarnya anak sulung dari tiga bersaudara itu bukan penggemar musik keras.
Dia ikut pergi karena diajak teman kerjanya, salah satunya bernama Diki, yang juga menjadi korban.
Seorang basis yang juga penonton konser saat itu, Agi Mukti (15), menceritakan, pada awal pertunjukan, semua berjalan lancar.
Seperti dikutip dari Harian Kompas, 11 Februari 2008, sekitar pukul 19.00 WIB, suasana berubah mengerikan.
Bau alkohol memenuhi ruangan disertai kepulan asap rokok, sementara para penonton terus berjingkrak mengikuti irama musik cadas.
Keadaan semakin kacau saat penonton di luar gedung yang tidak kebagian tiket merangsek dan akhirnya diizinkan masuk oleh panitia.
Saat itulah satu per satu penonton pingsan, termasuk Agi.
"Saya selamat karena ada orang yang menolong. Saya tidak tahu siapa mereka, mungkin panitia," kata Agi.
Agi memperkirakan jumlah penonton saat itu mencapai 1.000 orang.
Padahal, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung saat itu, Askary Wirantaadmadja mengatakan, kapasitas Gedung AACC hanya 400 orang.
Gedung AACC yang bekas gedung bioskop itu sebenarnya hanya cocok untuk pertunjukan musik klasik atau jazz. Penonton kedua jenis musik ini relatif diam, tak banyak bergerak.
Berbeda dengan musik cadas yang memicu penonton untuk terus berjingkrak sehingga butuh banyak oksigen.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Tragedi Munich 1958 yang Menewaskan 8 Pemain Manchester United
Masih mengutip Harian Kompas, sebanyak tiga orang tersangka ditetapkan, yakni AAS, Y, dan H.
Ketiganya panitia penyelenggara konser musik band beraliran metalcore itu.
Polisi menganggap panitia telah melakukan kelalaian sehingga menyebabkan banyak korban luka dan meninggal dunia.
Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung Komisaris Besar Bambang Suparsono menjelaskan, kesalahan pertama yang dilakukan panitia adalah menutup pintu Gedung AACC.
Kesalahan kedua, penjualan tiket masuk yang tidak sesuai dengan izin awal, yaitu 750 tiket.
"Kami menemukan 15 bonggol tiket, masing-masing bonggol berisi 100 tiket. Kemungkinan masih ada juga tiket lain yang dijual di luar gedung," kata Bambang.
Selain itu, polisi juga menemukan 29 botol bir dan minuman keras dan satu botol kecil cairan tiner di tempat kejadian perkara (TKP).
"Barang-barang itu memang ditemukan di TKP. Namun, berdasarkan hasil visum, semua korban meninggal karena kekurangan oksigen. Usia mereka rata-rata 14 sampai 16 tahun," ujar dia.
Bambang menjelaskan, kericuhan terjadi setelah konser itu usai.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Facebook Diluncurkan, Bagaimana Kisah Awalnya?
Kesedihan dialami salah satu keluarga korban, Bagja Gunawan (40) dan Eneng Gustini (37), warga Gang Sindang Asih, Babakan Lor, Bandung.
Novi Fibriani (15), putri mereka, turut menjadi korban dalam konser musik itu.
"Awalnya ia bersama kakaknya mau ke mal, tapi di angkot ketemu temannya, lalu malah ikut nonton konser," tutur Bagja.
Kakak korban, Siska Restiawati (17), pada saat kericuhan mulai terjadi sempat berpegangan dengan Novi.
Namun, karena padatnya penonton yang berdesak-desakan, pegangan mereka terlepas.
"Adik sempat teriak, tapi aku jatuh dan terinjak-injak. Aku ditolong orang dan dibantu keluar, tapi adik tak terlihat lagi," kata Siska.
Keadaan yang sama dirasakan pasangan Suradi (34) dan Sri Nurhayati (29). Mereka pasrah dan ikhlas atas kepergian anaknya, Tian Kristianto (16).
Suradi mengatakan, anak pertama dari dua bersaudara itu memang menyukai musik. Di sekolahnya, SMK Merdeka, Tian membentuk band Jungleboy '08 (JB '08).
Namun, tidak ada yang menyangka penggebuk drum itu harus meregang nyawa saat menyaksikan pertunjukan musik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.