Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Chappy Hakim
KSAU 2002-2005

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Sengketa Natuna, Peristiwa Bawean, dan Diplomasi

Kompas.com - 18/01/2020, 20:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA hari lalu, 16 Januari 2020 di Restoran Kembang Goela, Jakarta, telah berlangsung diskusi dan pembahasan yang cukup mendalam tentang isu perairan Pulau Natuna yang tengah hangat belakangan ini.

Diskusi ini dilaksanakan dalam rangka pertemuan bulanan Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) sekaligus perayaan ulang tahun pertama serta peluncuran buku tahunan PSAPI atau Indonesia Center for Air Power Studies (ICAP).

Tampil sebagai pembicara utama dalam pembahasan tersebut adalah Prof Dr Hikmahanto dan Marsekal Madya Purn Wresniwiro.

Mendalami kasus sengketa perairan Natuna yang berkait dengan penegakan kedaulatan negara, maka pembahasan juga mengangkat kasus Bawean sebagai pembanding.

Alasannya adalah bahwa dalam konteks penegakan kedaulatan negara di kawasan perairan dan di udara dipahami bersama tidaklah semudah yang dibayangkan banyak orang.

Dalam uraiannya yang cukup detail dan komprehensif, Prof Hikmahanto menjelaskan tentang betapa rumitnya penerapan hukum internasional yang berlaku dalam kasus sengketa di kawasan perairan Laut China Selatan.

Ternyata United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang telah sama-sama diratifikasi oleh pemerintah China dan Indonesia, tidak serta-merta dapat menjadi rujukan untuk sebuah solusi dalam kasus Natuna.

Demikian pula dengan apa yang pernah terjadi beberapa tahun lalu dengan peristiwa Bawean di wilayah udara utara Pulau Jawa.

Persoalan Alur Laut Kepulauan Indoneia (ALKI) yang memberikan hak untuk terbang di atasnya ternyata juga tidak sesederhana bayangan kita semua.

Batas ketinggian yang tidak ditentukan dan sikap beberapa negara yang belum menyetujui format negara kepulauan menyumbangkan banyak sekali hambatan dalam upaya menyelesaikan masalah tersebut.

Lebih lanjut Prof Hikmahanto mengemukakan tentang rumitnya pembicaraan mengenai penerapan hukum internasional dalam kasus Natuna.

Penyelesaian yang sangat tidak mudah karena pendirian masing-masing negara dalam memandang UNCLOS 1982 yang berhadapan pada kepentingan nasional masing-masing.

Hal tersebut sangat dimaklumi akan menempatkan pemerintah RI dalam posisi sulit. Di satu sisi harus berhadapan dengan pemerintah China yang tetap berpendirian teguh mengenai area traditional fishing right.

Ppada saat yang sama, pemahaman masyarakat awam mengenai harga diri dan martabat bangsa tidak mudah pula untuk memperoleh pengertian tentang hukum laut internasional.

Yang menarik adalah dalam sesi tanya jawab, atas pertanyaan mengapa tidak kita bawa ke forum peradilan internasional, seperti International Court of Justice (ICJ) atau Permanent Court of Arbiteration (PCA), Prof Hikamahanto menjelaskan sebaiknya tidak usah.

Alasannya adalah, yang pertama, untuk apa? Karena apabila ditujukan untuk menyelesaikan overlapping dari klaim masing-masing, realitanya sudah jelas bahwa masing-masing negara tidak akan sepakat.

Yang kedua adalah, apabila pun "berhasil" dibawa ke ICJ atau PCA, dapat dijamin nasibnya akan sama dan serupa dengan yang dialami oleh Filipina.

China akan terus saja hadir secara fisik di wilayah yang disengketakan, dengan perkataan lain "hasilnya" tidak akan digubris oleh China.

Pada konteks masyarakat internasional dalam isu yang menyangkut masalah perbatasan, maka akan berlaku "siapa yang kuat, dia yang menang" dan bukan "siapa yang benar."

Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah kesabaran dan tidak menganggap apa yang China lakukan. Justru kita harus banyak melakukan upaya kehadiran secara fisik di wilayah "sengketa".

Dari jawaban Prof Hikmahanto tersebut, maka menjadi jelas peranan diplomasi menjadi sangat mengemuka karena upaya membangun kehadiran di wilayah sengketa bukanlah sesuatu yang dapat "segera" dilaksanakan.

Contoh sederhana adalah ketika pemerintah berupaya mengerahkan nelayan perairan Jawa ke perairan Natuna pagi-pagi sudah mendapatkan penolakan dari para nelayan Natuna.

Demikian pula upaya untuk menambah armada coast guard kita, selain membutuhkan dana besar, juga memerlukan waktu panjang.

Kasus Natuna dan juga pengalaman dari peristiwa Bawean akan tetap berlanjut ke masa mendatang.

Itu sebabnya giat diplomasi ternyata memang telah menjadi tuntutan untuk dikembangkan dalam memosisikan martabat negara dalam konteks menjaga kedaulatan negara di darat, laut dan udara.

Upaya diplomasi dipastikan tidak dapat dengan "hanya" mengandalkan Kementerian Luar Negeri. Masukan dari berbagai pihak (antara lain untuk urun rembuk) dalam menambah "amunisi" kepada para diplomat kita harus pula dapat dilakukan.

Natuna, Bawean, dan diplomasi ternyata memiliki keterkaitan yang cukup erat sekarang ini dan juga di masa datang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 2-3 Juni | Orang dengan Gangguan Kesehatan Tertentu yang Tak Dianjurkan Minum Air Kelapa

[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 2-3 Juni | Orang dengan Gangguan Kesehatan Tertentu yang Tak Dianjurkan Minum Air Kelapa

Tren
Amankah Tidur dengan Posisi Kepala, Badan, dan Kaki Tidak Sejajar?

Amankah Tidur dengan Posisi Kepala, Badan, dan Kaki Tidak Sejajar?

Tren
Parade 6 Planet 3 Juni 2024, Bisa Dilihat Jam Berapa?

Parade 6 Planet 3 Juni 2024, Bisa Dilihat Jam Berapa?

Tren
Kemenag Siapkan 300 Kuota Jemaah Haji untuk Ikuti Safari Wukuf

Kemenag Siapkan 300 Kuota Jemaah Haji untuk Ikuti Safari Wukuf

Tren
Produk yang Tidak Harus Menyertakan Sertifikasi Halal, Apa Saja?

Produk yang Tidak Harus Menyertakan Sertifikasi Halal, Apa Saja?

Tren
Kisah Penerjunan Kucing dengan Parasut, Berjasa Basmi Tikus di Kalimantan

Kisah Penerjunan Kucing dengan Parasut, Berjasa Basmi Tikus di Kalimantan

Tren
Sepanjang Mei, Ada 4 Aturan Baru Pemerintah yang Tuai Kegaduhan Publik

Sepanjang Mei, Ada 4 Aturan Baru Pemerintah yang Tuai Kegaduhan Publik

Tren
Cincin Emas Berusia 2.300 Tahun Ditemukan di Tempat Parkir Yerusalem

Cincin Emas Berusia 2.300 Tahun Ditemukan di Tempat Parkir Yerusalem

Tren
Daftar Ormas Keagamaan yang Kini Bisa Kelola Lahan Tambang Indonesia

Daftar Ormas Keagamaan yang Kini Bisa Kelola Lahan Tambang Indonesia

Tren
Buku Karya Arthur Conan Doyle di Perpustakaan Finlandia Baru Dikembalikan setelah 84 Tahun Dipinjam, Kok Bisa?

Buku Karya Arthur Conan Doyle di Perpustakaan Finlandia Baru Dikembalikan setelah 84 Tahun Dipinjam, Kok Bisa?

Tren
8 Fenomena Astronomi Sepanjang Juni 2024, Ada Parade Planet dan Strawberry Moon

8 Fenomena Astronomi Sepanjang Juni 2024, Ada Parade Planet dan Strawberry Moon

Tren
4 Provinsi Gelar Pemutihan Pajak Kendaraan Juni 2024, Catat Jadwalnya

4 Provinsi Gelar Pemutihan Pajak Kendaraan Juni 2024, Catat Jadwalnya

Tren
7 Cara Cek Pemadanan NIK-NPWP Sudah atau Belum, Klik ereg.pajak.go.id

7 Cara Cek Pemadanan NIK-NPWP Sudah atau Belum, Klik ereg.pajak.go.id

Tren
Perbandingan Rangking Indonesia Vs Tanzania, Siapa yang Lebih Unggul?

Perbandingan Rangking Indonesia Vs Tanzania, Siapa yang Lebih Unggul?

Tren
Kenali Beragam Potensi Manfaat Daun Bawang untuk Kesehatan

Kenali Beragam Potensi Manfaat Daun Bawang untuk Kesehatan

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com