Jika kelompok senior menunjukkan superioritasnya dan kemudian dilawan oleh junior, hasilnya akan terjadi kemarahan yang meluas.
Bahkan, bisa terjadi pembunuhan akibat eskalasi kemarahan.
"Maka yang terjadi sebetulnya, ketika ada yang dipukul oleh senior agar tidak terjadi pembunuhan, juniornya itu (bersikap) diam," kata dia.
Sementara, jika junior bersikap diam, maka seinor akan menganggap itu sebuah bentuk kepatuhan dan rasa takut.
Lebih lanjut, jika sudah terpatri rasa patuh dan takut tersebut ada di dalam diri junior, maka muncul aturan: "Senior itu yang paling benar".
Koentjoro menilai, aturan-aturan tersebut masih muncul di sekolah-sekolah kedinasan.
Menurut Koentjoro, tindakan kekerasan seperti yang terjadi sekolah taruna, biasanya tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, tetapi bisa juga terjadi di asrama, bahkan di luar sekolah.
"Karena tindakan itu tidak hanya di kelas, nanti di asrama juga seperti itu. Di mana-mana mereka selaku mendapat seperti itu agar yang bawah (junior) tunduk pada yang atas (senior)," ujar Koentjoro.
"Jadi salah satu menciptakan kepatuhan itu harus dengan dipaksa, ditunjukkan superioritasnya, jagan sampai junior lebih menonjol dari seniornya," lanjut dia.
Meski dinilai susah untuk dihilangkan, Koentojo mengatakan, harus ada sanksi tegas dari berbagai pihak, terutama di sekolah, di asrama, dan di luar sekolah kedinasan, jika terjadi perilaku kekerasan di lingkungan pendidikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.