Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Neni Nur Hayati
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia. Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pilkada Langsung atau Tidak, Mau Dibawa ke Mana Demokrasi Kita?

Kompas.com - 02/12/2019, 16:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

POLEMIK wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) tidak langsung kembali mencuat ke permukaan publik. Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri tengah melakukan evaluasi atas sistem pilkada langsung.

Hal itu menimbulkan beragam pendapat, baik pro maupun kontra, dari sejumlah kalangan partai politik dan ormas besar islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Ada yang tetap konsisten meminta pilkada dilaksanakan secara langsung karena penghapusan pilkada langsung merupakan sebuah kemunduran demokrasi. Namun, ada pula yang menginginkan pilkada kembali kepada DPRD.

Penyebab utama munculnya wacana pilkada melalui DPRD adalah karena sistem pilkada langsung yang diterapkan sejak era reformasi menimbulkan sejumlah persoalan.

Permasalahan itu mulai dari biaya penyelenggaraan pilkada yang membutuhkan biaya politik tinggi, maraknya money politic yang menyebabkan potensi korupsi kepala daerah terpilih, potensi konflik yang tinggi dalam sistem sosial masyarakat, sengketa hukum, hingga gejala mewabahnya praktik politik dinasti.

Ada empat sumber pengeluaran yang menjadikan tingginya biaya politik pada pemilihan kepala daerah yakni biaya pencalonan kepala daerah (biasa disebut mahar politik), dana kampanye politik, biaya konsultasi dan survei pemenangan serta praktik jual beli suara (Perludem, 2017).

Harapannya memang, hasil dari pilkada dapat melahirkan pemimpin berkualitas. Namun, yang terjadi justru sangat jauh dari harapan. Kepala daerah terpilih pada akhirnya disibukkan dengan harus mengganti biaya politik tinggi yang telah dikeluarkan, bukan fokus pada realisasi visi misi yang disampaikan selama masa tahapan kampanye.

Hal ini tentu sangat ironis. Jika pasca-pilkada ini terus-menerus terjadi, sampai kapan demokrasi substansial dapat terwujud?

Pilkada asimetris

Menjawab pelbagai kontroversi yang terjadi, sejatinya memang diperlukan kajian ilmiah yang jernih terkait dengan dampak dan manfaat dari pilkada langsung. Evaluasi yang diinisasi oleh Mendagri perlu diapresiasi, karena hal ini menjadi penting untuk membenahi mekanisme politik secara tepat.

Pemerintah juga tengah mengusulkan sistem pilkada asimetris, yakni sistem pilkada yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pemilihan kepala daerah antardaerah, misalnya karakteristik tertentu daerah tersebut seperti kekhususan aspek administrasi, budaya, dan faktor strategis wilayah.

Sistem pilkada asimetris ini dinilai tidak berbiaya tinggi serta dapat meminimalisasi konflik di masyarakat.

Yang menjadi pertanyaan adalah, tepat dan efektifkah penerapan sistem pilkada asimetris ini di Indonesia? Apakah sudah mampu menjawab seluruh persoalan yang terjadi?

Kalau kita perhatikan secara saksama, sesungguhnya pelaksanaan pilkada asimetris juga bukan hal baru. Pilkada asimetris sudah diterapkan di beberapa daerah, seperti Aceh dan Yogyakarta.

Pilkada Aceh menyertakan keberadaan partai politik lokal, pilkada di Yogyakarta tanpa pemilihan gubernur, dan Pilkada DKI dengan tanpa pemilihan wali kota maupun bupati. Ini merupakan beberapa pilihan asimetris di Indonesia (Anggraeni, 2019).

Arah demokrasi kita

Berbagai usulan dan wacana yang kerap digulirkan oleh pemerintah memunculkan sebuah pertanyaan besar: mau dibawa ke mana arah demokrasi kita?

Kalaulah pilkada langsung menjadi penyebab korupsi para kepala daerah, akankah ada jaminan ketika pilkada tidak langsung atau pilkada asimetris diterapkan biaya politik menjadi rendah dan kepala daerah yang terpilih tidak berpotensi melakukan korupsi?

Bukankah sama saja biaya politik tinggi akan tetap terjadi? Misalnya dengan melakukan suap kepada beberapa anggota DPRD terpilih.

Ada baiknya ketika pilkada langsung dilakukan evaluasi, jangan hanya pemilih yang menjadi korban, tetapi juga lakukan evaluasi terhadap partai politik.

Ketika dalam prapencalonan saja, bakal calon kepala daerah sudah harus membayar mahar tinggi kepada partai pengusung. Ini menjadi salah satu peluang untuk melakukan korupsi, kenapa transaksi yang haram ini dibiarkan begitu saja? Bahkan hal ini semakin membudaya dan menjadi hal lumrah.

Kini, pemerintah bersama dengan DPR untuk tidak tergesa-gesa dalam mengubah sistem pilkada.

Lakukan kajian yang mendalam dengan para ahli. Karena, seyogianya pilkada langsung bukan menjadi satu-satunya faktor utama penyebab biaya politik tinggi.

Hapus praktik transaksional yang dapat mencederai bahkan mematikan proses demokrasi. Tekan pengeluaran tinggi untuk kampanye.

Ada banyak inovasi dan strategi kampanye yang bisa dilakukan oleh calon kepala daerah yang tidak membutuhkan biaya tinggi.

Selain itu, regulasi UU Pilkada harus diperkuat. Jangan beri ruang-ruang kosong kepada calon kepala daerah untuk dapat melakukan berbagai macam praktik kecurangan. Diakui atau tidak, selama ini ada regulasi yang masih memiliki kelemahan, sehingga dampaknya proses penegakan hukum pemilu tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Padahal, tujuan hukum semata-mata untuk mencari keadilan pemilu (electoral justice). Hal ini harus didukung juga dengan masyarakat dan kandidat kepala daerah yang harus memiliki keterikatan terhadap aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar dalam proses penyelenggaraan pilkada.

Pada akhirnya, penulis mengambil kesimpulan bahwa pelaksanaan pilkada langsung masih sangat efektif untuk senantiasa digunakan.

Kekurangan pasti akan ada, maka fokus kita semua adalah melakukan pembenahan bukan mengganti sistemnya. Karena, seolah–olah wacana ini muncul hanya untuk mengakomodir kelompok berkepentingan saja bukan aspirasi murni dari masyarakat.

Fokuskan kinerja pemerintah dan DPR untuk mengimplementasikan pada hal-hal yang lebih substansi dan menjaadi kewajiban utama. Stop mengombang–ambing demokrasi kita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Jadwal Timnas Indonesia di Semifinal Piala Asia U23: Senin 29 April 2024 Pukul 21.00 WIB

Jadwal Timnas Indonesia di Semifinal Piala Asia U23: Senin 29 April 2024 Pukul 21.00 WIB

Tren
Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Tren
Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Tren
Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Tren
Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Tren
Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Tren
3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

Tren
Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Tren
Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Tren
'Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... '

"Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... "

Tren
Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Tren
Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain'

Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain"

Tren
Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Tren
Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Tren
Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Diskon Tiket KAI Khusus 15 Kampus, Bisakah untuk Mahasiswa Aktif?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com