Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Stacey Kennedy
Presiden Asia Selatan & Tenggara Philip Morris International

Presiden Wilayah Asia Selatan & Tenggara, Philip Morris International (PMI)

Strategi Inklusi dan Keberagaman Bukan Sekadar Formalitas

Kompas.com - 04/10/2019, 15:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT ini banyak yang mendukung seruan untuk dunia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih setara.

Akan tetapi, mewujudkan visi ini bisa menjadi sebuah tantangan ketika dihadapkan dengan mereka yang melihat kesetaraan dan keberagaman di tempat kerja hanya sebagai "formalitas" belaka.

Sudah saatnya kita menentang pandangan dan sikap seperti itu. Seharusnya, kesetaraan dan keberagaman dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif, beragam, dan seimbang secara gender--yang mencerminkan masyarakat--bukan hanya karena ini benar, tetapi juga baik untuk kelangsungan bisnis dan meningkatkan keuntungan.

Sebuah laporan pada tahun 2019 oleh konsultan global, Korn Ferry, menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang meningkatkan keterwakilan karyawan perempuan dalam peran kepemimpinan perusahaan hingga sepertiga dari jumlah karyawannya, terbukti meningkatkan profitabilitas sebesar 15 persen.

Tahun lalu, sebuah perusahaan konsultan leadership global, DDI, mengeluarkan Global Leadership Forecast yang menyoroti bahwa perusahaan dengan setidaknya 30 persen keberagaman gender--lebih dari 20 persen di tingkat senior--mengungguli perusahaan lain yang kurang beragam dalam hal leadership dan hasil bisnisnya.

Apa artinya untuk kita? Sederhananya, tidak dapat dimungkiri bahwa ada pengaruh antara keberagaman gender dan hasil yang lebih baik.

Namun, kecepatan organisasi merangkul tren ini untuk membentuk leadership dalam organisasi masih jauh dari seragam. Misalnya di beberapa bagian Asia, beberapa orang memandang upaya inklusi dan keberagaman sebagai konsep kebaratan.

Namun, penelitian yang dilakukan di wilayah tersebut oleh perusahaan konsultan, Mercer, menemukan bahwa karyawan yang berkembang di tempat kerja tujuh kali lebih mungkin bekerja di perusahaan yang berkomitmen untuk kesetaraan upah berdasarkan gender dan peluang.

Setengah dari para cendekiawan dunia dan lulusan perguruan tinggi merupakan wanita dan mereka memengaruhi 60-70 persen pengeluaran konsumen saat ini.

Memanfaatkan talenta berbakat ini untuk merespons basis pelanggan Anda dengan lebih baik merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan.

Penting juga untuk tidak melihat keberagaman hanya sebagai "hak wanita" atau "hak minoritas".

Ini tentang produktivitas bisnis, memahami bahwa keberagaman memicu kreativitas dan inovasi sehingga karyawan dapat berhasil dan membantu mendorong pertumbuhan bisnis dalam jangka panjang.

Unilever, salah satu pemimpin global tentang inklusi dan keberagaman, di mana 49 persen manajernya adalah perempuan, telah memahami hal ini.

Mereka menemukan bahwa meningkatkan keberagaman dapat membantu dalam merekrut dan mempertahankan staf dengan lebih mudah.

Terlebih lagi, Unilever menyadari bahwa generasi milenial ingin bekerja di tempat yang memiliki lingkungan kerja inklusif, sehingga ini tidak hanya menghadirkan win-win solution untuk perusahaan dan karyawan, tetapi juga membantu menarik talenta-talenta baru untuk bergabung.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com