JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo telah mengirimkan 10 nama calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke DPR pada Rabu (4/9/2019).
Adapun kesepuluh nama tersebut sama persis dengan nama-nama yang diumumkan oleh Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (IWC) Adnan Topan Husodo mengatakan, ada sejumlah catatan terkait beberapa nama calon Pimpinan KPK yang seharusnya menjadi catatan pula bagi Jokowi.
"Kalau kritik dari kami (ICW) kan jelas, ada beberapa calon yang masih punya persoalan rekam jejak, integritasnya diragukan tapi kok kenapa dipaksakan maju," kata Adnan saat dihubungi Kompas.com, Kamis (5/9/2019).
Ia menduga, ada suara-suara lain yang lebih kuat, sehingga memengaruhi Presiden untuk mengambil keputusan itu.
Baca juga: Anggota Komisi III Ini Sebut Firli Layak Lolos 10 Besar Capim KPK
Menurut Adnan, pemilihan capim KPK ini bisa menjadi sebuah pertaruhan.
"Kalau pemimpin KPK-nya error tentu secara keseluruhan KPK-nya akan dibawa ke arah yang buruk kan," kata Adnan.
Oleh karena itu, semangat yang harus dibawa dalam konteks seleksi tersebut seharusnya adalah semangat menjadikan KPK lebih berdaya dalam pemberantasan korupsi.
"Bukan untuk semangat mengkalkulasi politik. Apa keuntungan, apa hal yang bisa dimasukkan dalam proses seleksi ini sebagai bagian dari, misalnya, posisi kawan," kata Adnan.
"Nah, (semangat) ini kan semestinya yang harus dikalahkan," lanjut dia.
Setelah Presiden menyerahkan 10 nama capim KPK ke DPR, selanjutnya keputusan berada di tangan DPR.
Baca juga: DPR Mulai Proses 10 Nama Capim KPK Pekan Depan
Adnan pesimistis DPR dapat mendengar aspirasi publik terkait capim KPK.
"Bahas RUU KPK saja begitu. Kalau kami sih ya sangat pesimis dengan proses-proses politik. Kita bisa lihat dari sejarah proses seleksi, fit and proper test di DPR selama ini terkait dengan KPK," kata Adnan.
"Biasanya yang nilainya bagus itu tersingkir, kalau enggak ada dukungan politik," ujar dia.
Selain itu, Adnan juga mempertanyakan proses fit and proper test dilakukan oleh DPR periode saat ini, bukan DPR periode 2019-2024 yang akan dilantik pada 1 Oktober mendatang.
"Kenapa tidak menyerahkan wacana revisi UU KPK, seleksi capim KPK ini ke DPR yang baru? Padahal kan waktunya masih lama, masih Desember. Sampai akhir Desember nanti Pimpinan KPK masih aktif bekerja kok," kata Adnan.
Menurut dia, DPR periode 2014-2019 secara politik sudah tidak memiliki legitimasi karena hasil pemilu legislatif sudah diumumkan.
Proses seleksi yang terkesan dilakukan secara terburu-buru, ditambah wacana revisi UU KPK secara diam-diam justru akan menimbulkan tanda tanya di kalangan publik.