Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kenapa Banyak Nama "Kim" di Korea? Ternyata Ini Alasan dan Sejarahnya

KOMPAS.com - Kim menjadi nama yang paling populer dan banyak digunakan oleh orang di Korea Selatan (Korsel).

Menurut catatan Britannica, sekitar 20 persen atau 10 juta dari 49,3 juta penduduk Korsel memakai nama keluarga "Kim". 

Sebut saja pesohor dengan nama lahir Kim ada tiga personel BTS seperti Jin dengan lahir Kim Seok-jin, Kim Nam-joon dengan nama panggung RM, dan Kim Tae-hyung yang memiliki nama panggung V. 

Selain itu, ada bintang film Kim Tae-ri, Kim Ji Won, dan Kim Soo Hyun.

Deretan tersebut bisa bertambah panjang jika penguasa Korea Utara ikut ditambahkan dari Kim Il-sung, Kim Jong-il, dan Kim Jong-un. 

Selain Kim, nama lainnya yang tidak kalah populer di Negeri Ginseng adalah Lee dan Park.

Bila ditotal secara keseluruhan, hampir separuh orang Korsel mempunyai nama Kim, Lee, dan Park. 

Lantas, kenapa banyak orang Korea Selatan memiliki nama Kim, apa alasannya dan bagaimana sejarahnya?

Dikutip dari Medium, nama keluarga Kim bisa dirunut sejak masa Kerajaan Silla yang berkuasa sejak 57 sebelum masehi hingga tahun 935 Masehi. 

Pada masa itu, ada 3 kerajaan besar di semenanjung Korea yakni Guguryeo, Baekje, dan Silla.

Setelah konflik selama berabad-abad, Silla menyatukan ketiga kerajaan pada tahun 668 Masehi hingga diambil alih oleh dinasti baru bernama Goryeo (918–1392).

Kim adalah nama keluarga kerajaan atau bangsawan

Nama keluarga Kim yang berarti "emas" di Silla kemudian diserap ke dalam monarki dan diberi status bangsawan oleh keluarga Wang yang berkuasa.

Ketika kedua kerajaan ini bersatu, penggabungan yang dihasilkan menyebabkan nama Kim menjadi salah satu nama keluarga paling populer.

Dinasti Goryeo digantikan oleh Joseon (1392–1897), ketika Yi (Lee) Seonggye, seorang jenderal Goryeo, menggulingkan keluarga Wang.

Joseon bertahan hingga tahun 1897 (1910 dengan nama berbeda), ketika negara itu dianeksasi oleh Jepang.

Selama pemerintahan 500 tahun, keluarga Yi (Lee) menjadi salah satu keluarga terpadat di negara itu. Lee masih merupakan nama keluarga terpadat kedua di Korea Selatan, terhitung 15 persen dari populasi.

Reformasi penamaan budak

Dikutip dari Onlyou, pada puncak Dinasti Joseon, jumlah budak mencapai 60 persen dari populasi penduduk.

Selama periode ini, nama keluarga adalah simbol kekuasaan dan kelas, dan hanya bangsawan yang memiliki nama keluarga. Sebaliknya, budak tidak diberi nama resmi termasuk nama keluarga karena nama keluarga saat itu dinilai sebuah kemewahan. 

Namun, sistem ini ditinggalkan setelah dua perang berturut-turut melawan Dinasti Qing dan Jepang.

Konflik ini menghabiskan kekayaan dinasti dan membuat Joseon kekurangan uang.

Kurangnya sumber daya mendorong monarki untuk mereformasi sistem penamaannya, yang memberikan hak kepada budak dan rakyat jelata untuk membeli nama keluarga dan meningkatkan status sosial mereka.

Reformasi ini dimaksudkan untuk menghasilkan lebih banyak pendapatan pajak karena budak tidak perlu membayar pajak sebelum perubahan karena kurangnya nama keluarga.

Mayoritas populasi budak memilih untuk membeli nama keluarga yang berpengaruh, seperti Kim, untuk memamerkan status tinggi mereka.

Kim yang awalnya diperuntukkan hanya bagi anggota keluarga kerajaan atau bangsawan, selanjutnya bisa dimiliki oleh siapa saja. 

Sementara yang lain memilih untuk mengadopsi nama keluarga dari majikan mereka sebelumnya.

Keputusan ini menyebabkan peningkatan ukuran keluarga untuk keluarga kuat yang memiliki banyak budak.

Pendudukan Jepang di semenanjung Korea

Pada tahun 1910, setelah perang berkepanjangan, Korea dianeksasi dan dijajah oleh Jepang.

Untuk mengontrol semenanjung secara efektif, Jepang mengamanatkan setiap orang dewasa untuk melaporkan nama belakang mereka ke administrasi kolonial.

Undang-undang ini mendorong mereka yang tidak memiliki nama keluarga untuk memilih nama belakang, dan lagi-lagi nama Kim yang banyak dipilih.

Hal tersebut kemudian menambah jumlah nama belakang Kim yang pada saat itu sudah populer.

Meskipun memiliki nama belakang yang identik, tidak semua Kim terkait satu sama lain.

Sebuah komponen mendasar dari sistem kekerabatan tradisional Korea adalah klan, atau bon-gwan, yang nama belakang menandakan asal geografis bersama.

Dengan demikian, berbagai Kims dapat melacak nenek moyang mereka ke lokasi yang berbeda.

Di masa lalu, dilarang oleh undang-undang untuk menikah dengan seseorang dari klan yang sama karena takut mereka memiliki hubungan jauh.

Bahkan ada contoh praktik ini dalam drama populer, Reply 1988, dengan protagonis, Sun Woo dan Bora, melawan keberatan dari ibu mereka, yang menentang pernikahan mereka karena mereka memiliki nama keluarga dan klan yang sama.

Pemerintah melakukan upaya pada tiga kesempatan terpisah pada tahun 1978, 1988, dan 1996 untuk melegalkan pernikahan antara orang-orang dengan nama keluarga dan klan yang sama, tetapi reaksi publik meyakinkan mereka untuk mundur dari keputusan mereka.

Seiring waktu, kekhawatiran ini mereda, dan undang-undang asli akhirnya dicabut pada tahun 1999.

Nah, itulah sejarah kenapa banyak orang Korea dengan nama Kim sebagai nama keluarga. 

https://www.kompas.com/tren/read/2023/06/19/090000765/kenapa-banyak-nama-kim-di-korea-ternyata-ini-alasan-dan-sejarahnya

Terkini Lainnya

Peneliti Temukan Bahan Legging Olahraga Bisa Picu Kanker, Apa Itu?

Peneliti Temukan Bahan Legging Olahraga Bisa Picu Kanker, Apa Itu?

Tren
Daftar 12 Instansi Pusat yang Sudah Umumkan Formasi CPNS dan PPPK 2024

Daftar 12 Instansi Pusat yang Sudah Umumkan Formasi CPNS dan PPPK 2024

Tren
Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat dan Angin Kencang pada 4-5 Juni 2024

Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat dan Angin Kencang pada 4-5 Juni 2024

Tren
[POPULER TREN] Mukesh Ambani Tak Lagi Jadi Orang Terkaya Asia | Kalori yang Terbakar Usai Jalan Kaki 30 Menit

[POPULER TREN] Mukesh Ambani Tak Lagi Jadi Orang Terkaya Asia | Kalori yang Terbakar Usai Jalan Kaki 30 Menit

Tren
Soroti Kasus Viral Ibu dan Anak Baju Biru di Tangsel, KPAI: Memori Buruk Dapat Melekat pada Korban

Soroti Kasus Viral Ibu dan Anak Baju Biru di Tangsel, KPAI: Memori Buruk Dapat Melekat pada Korban

Tren
Ramai soal Tren Pernikahan Tanpa Rasa Cinta dan Hasrat Seksual di Jepang, Apa Itu?

Ramai soal Tren Pernikahan Tanpa Rasa Cinta dan Hasrat Seksual di Jepang, Apa Itu?

Tren
Perbandingan Ranking FIFA Indonesia Vs Irak, Bakal Duel di Kualifikasi Piala Dunia 2026

Perbandingan Ranking FIFA Indonesia Vs Irak, Bakal Duel di Kualifikasi Piala Dunia 2026

Tren
Kronologi Bupati Halmahera Utara Ancam Demonstran Pakai Parang, Berujung Dilaporkan ke Polisi

Kronologi Bupati Halmahera Utara Ancam Demonstran Pakai Parang, Berujung Dilaporkan ke Polisi

Tren
Bukan Mewakili Jumlah Anggota, Ini Makna 12 Bintang Emas yang Ada di Bendera Uni Eropa

Bukan Mewakili Jumlah Anggota, Ini Makna 12 Bintang Emas yang Ada di Bendera Uni Eropa

Tren
Pendaftaran PPDB SD Surabaya 2024 Jalur Zonasi Kelurahan Dibuka, Klik Sd.ppdbsurabaya.net/pendaftaran

Pendaftaran PPDB SD Surabaya 2024 Jalur Zonasi Kelurahan Dibuka, Klik Sd.ppdbsurabaya.net/pendaftaran

Tren
Mengenal Robot Gaban 'Segede Gaban', Sebesar Apa Bentuknya?

Mengenal Robot Gaban "Segede Gaban", Sebesar Apa Bentuknya?

Tren
Motif Ibu di Tangsel Rekam Video Cabuli Anak Sendiri, Mengaku Diancam dan Dijanjikan Rp 15 Juta

Motif Ibu di Tangsel Rekam Video Cabuli Anak Sendiri, Mengaku Diancam dan Dijanjikan Rp 15 Juta

Tren
Perang Balon Berlanjut, Pembelot Korea Utara Ancam Kirim 5.000 USB Berisi Drama Korea Selatan

Perang Balon Berlanjut, Pembelot Korea Utara Ancam Kirim 5.000 USB Berisi Drama Korea Selatan

Tren
Terdampak Balon Isi Sampah dari Korut, Warga Korsel Bingung Minta Ganti Rugi ke Siapa

Terdampak Balon Isi Sampah dari Korut, Warga Korsel Bingung Minta Ganti Rugi ke Siapa

Tren
Video Viral Bocah Jatuh dari JPO Tol Jatiasih karena Pagar Berlubang, Jasa Marga Buka Suara

Video Viral Bocah Jatuh dari JPO Tol Jatiasih karena Pagar Berlubang, Jasa Marga Buka Suara

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke