KOMPAS.com - Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (11/8/2022).
Diberitakan Kompas.com, OTT KPK terhadap Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo terkait dengan dugaan suap pengadaan barang dan jasa.
Selain itu, KPK juga menduga ada tindakan suap terkait jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pemalang.
KPK resmi menetapkan Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo dan lima orang lainnya sebagai tersangka kasus suap jual beli jabatan.
Kelima orang lainnya tersebut, yakni AJW selaku Komisaris PT AU, penjabat Sekretaris Daerah SM, Kepala BPBD Pemalang SJ, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Kadiskominfo) YN, dan MS selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Pemalang.
Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo yang terjaring OTT KPK menambah panjang daftar kepala daerah yang ditangkap KPK imbas dugaan kasus korupsi.
Lantas, mengapa kepala daerah tak jera melakukan korupsi?
Sudah kronis
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono berpendapat, kasus OTT kepala daerah telah kronis lantaran terjadi bekali-kali.
Menurutnya, walaupun OTT sudah berulang kali dilakukan KPK, hal itu tidak membuat jera kepala daerah.
"Ini menurut saya penangkapan OTT kepala daerah memang sudah kronis karena ini sudah terjadi berkali kali, dan itu kayaknya tidak ada jera," ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (12/8/2022).
Apa masalahnya?
Drajat melihat, masalah utamanya ada pada skema desentralisasi atau terkait penyerahan urusan dari pemerintah ke daerah.
Skema atau kebijakan desentralisasi di Indonesia, lanjutnya, tidak tepat karena tidak memiliki daya tahan terhadap perilaku opportunistic behavior dari pejabatnya.
Opportunistic behavior artinya perilaku untuk mendapatkan kesempatan meski dengan cara yang kurang baik atau ilegal sekalipun.
Menurutnya, kebijakan desentralisasi yang tidak tepat tersebut menimbulkan efek terhadap peluang-peluang untuk terjadinya korupsi.
"Seolah-olah KPK itu hanya juru tangkap saja, tetapi tidak punya daya untuk menghentikan. Jadi KPK itu hanya seperti obat penurun panas saja, tapi bukan obat menyembuhkan sakitnya," kata Drajat.
"Dan memang ini tidak bisa diselesaikan oleh KPK sendiri karena penyelesaiannya harus menyentuh sistem administrasi, desentralisasi, sistem kontrol pengawasan, pembenahan mental, dan moral pejabatnya," lanjutnya.
Pengawasan terkait hubungan ekonomi-politik
Drajat menilai, yang perlu diperhatikan dalam kebijakan desentralisasi adalah kemampuan kebijakan dan kontrol pengawasan terkait dengan hubungan ekonomi politik.
Hubungan tersebut, yakni kepala daerah sebagai penguasa anggaran dan bisnis.
"Karena kepala daerah ini juga dalam tanda kutip juga memainkan bisnis, karena dia memiliki anggaran yang harus dimanfaatkan melalui tender-tender, dan disitu dia berhubungan dengan bisnis," ungkapnya.
Sistem politik biaya tinggi
Lebih lanjut, Drajat menuturkan, masih adanya kepala daerah yang terseret dalam pusaran korupsi dilatarbelakangi sistem politik berbiaya tinggi.
"Jadi sistem politik kita, baik di pusat maupun di daerah, itu kan sekarang biaya tinggi, sehingga akhirnya politik biaya tinggi itu harus barang kembalinya," pungkasnya.
https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/13/103100665/ott-bupati-pemalang-dan-mengapa-kepala-daerah-tak-jera-lakukan-korupsi-