Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tak Hanya soal NIK Jadi NPWP, Berikut Poin-poin Aturan dalam UU HPP

KOMPAS.com – Nomor Induk Kependudukan (NIK) kini difungsikan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi orang pribadi.

Hal tersebut seiring dengan disahkannya Rencana Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Kamis (7/10/2021).

Namun UU HPP diketahui tak hanya mengatur hal tersebut.

Mengutip pemberitaan Kompas.com pada 7 Oktober 2021, dengan pengesahan Undang-Undang ini, maka penghasilan kena pajak (PKP) orang pribadi ditingkatkan menjadi Rp 60 juta dari sebelumnya Rp 50 juta dengan tarif PPh sebesar 5 persen.

Sehingga pekerja baru akan ditarik pajaknya sebesar 5 persen atas penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 60 juta per tahun dan bukan lagi Rp 50 juta.

"Artinya masyarakat dengan penghasilan Rp 4,5 juta per bulan tetap terlindungi dan tidak membayar pajak sama sekali," kata Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dikutip dari Kompas.com, Kamis (7/10/2021)

Setidaknya ada enam kelompok pengaturan yang ditetapkan dalam UU HPP ini yakni:

  1. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
  2. Pajak Penghasilan (PPh)
  3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  4. Program Pengungkapan Sukarela (PPS)
  5. Pajak Karbon
  6. Cukai

Berikut ini rincian aturan penting yang ada pada UU HPP seperti yang disampaikan Direktorat Jenderal Perpajakan (DJP) dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Jumat (8/10/2021):

2. Kelompok Pajak Penghasilan (PPh)

Terdapat perubahan lapisan dan tarif penghasilan pajak yakni menjadi:

  • Penghasilan sampai dengan Rp 60 juta kena tarif 5 persen
  • Penghasilan di atas Rp 60 juta-Rp 250 juta kena tarif 15 persen
  • Penghasilan di atas Rp 250 juta-Rp 500 juta kena tarif 25 persen
  • Penghasilan di atas Rp 500 juta-Rp 5 miliar kena tarif 30 persen
  • Penghasilan di atas Rp 5 miliar kena tarif 35 persen.

Selain itu, terdapat sejumlah aturan lain terkait Pajak Penghasilan yang disampaikan dalam UU HPP ini, yakni:

Kebijakan I, subyek merupakan wajib pajak orang pribadi (WP OP) dan badan peserta Tax Amnesty (TA) dengan basis aset per 31 desember 2015 yang belum diungkap saat Tax Amnesty.

Adapun tarif PPH finalnya yakni:

  • 11 persen untuk deklarasi
  • 8 persen untuk asset Luar Negeri (LN) repatraiasi dan asset Dalam Negeri (DN)
  • 6 persen untuk asset LN repatriasi dan asset DN yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN)/hilirisasi/renewable energy.

Kebijakan II, subyek WP OP dengan basis aset perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020 dengan tarif PPh Final:

5. Kebijakan dalam pengenaan Pajak Karbon

Tarif pajak karbon ditetapkan Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara dengan implementasi 1 April 2022 untuk badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batu bara

6. Cukai

Terkait dengan perubahan pengaturan cukai, DJP menyebut, dalam keterangannya kewenangan berada pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Tujuan UU HPP

Sebagaimana diketahui, tujuan UU HPP adalah meningkatkan pertumbuhan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi.

“Pemulihan ekonomi dan mengembalikan pertumbuhan membutuhkan banyak sekali pemihakan dan resources dan harus di-design secara sangat hati-hati dan detail. Kita menggunakan semua hal instrumen yang ada di dalam pemerintahan, APBN, perpajakan baik pajak dan bea cukai, PNBP, belanja negara, belanja daerah,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rilis tersebut.

Selain itu, UU tersebut diharapkan bisa mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem pajak yang berkeadilan dan memberikan kepastian hukum, melaksanakan reformasi, administrasi serta kebijakan perpajakan sehingga makin harmonis dan konsolidatif.

“Dengan UU HPP, maka kita ingin terus meningkatkan sukarela kepatuhan wajib pajak,” imbuhnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/10/09/093000365/tak-hanya-soal-nik-jadi-npwp-berikut-poin-poin-aturan-dalam-uu-hpp

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke