KOMPAS.com - Dua tim ilmuwan melakukan uji coba vaksin HIV berdasarkan teknologi yang digunakan untuk mengembangkan vaksin Covid-19.
Ilmuwan tersebut berasal dari Institut Jenner Universitas Oxford, yang terlibat dalam vaksin AstraZeneca, dan raksasa farmasi AS Moderna dalam kemitraan dengan Scripps Research.
Dilansir dari Arabnews, (18/4/2021), vaksin HIV tim Oxford menggunakan adenovirus yang dimodifikasi yang diambil sampelnya dari simpanse.
Sedangkan tim Moderna menggunakan metode yang didasarkan pada messenger ribonucleic acid (mRNA).
Memicu kekebalan
Kedua metode tersebut telah berhasil digunakan untuk memicu sistem kekebalan tubuh manusia terhadap Covid-19 dalam satu tahun terakhir.
Harapannya metode ini dapat diterapkan pada HIV, virus yang menyebabkan AIDS.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh, di mana kondisi ini mengakibatkan tubuh menjadi kurang optimal dalam memerangi infeksi.
Jika sel kekebalan tubuh diserang oleh virus ini, maka tubuh menjadi lebih rentan terhadap penyakit.
Apalagi penyakit ini telah membunuh hampir 690.000 orang setiap tahunnya.
Percobaan pertama
Tim Oxford akan memulai uji coba fase pertama pada April 2021 pada 101 sukarelawan HIV-negatif berusia 18-50 tahun yang berasal dari Inggris, Kenya, Uganda, dan Zambia.
Sementara, tim Moderna akan meluncurkan dua uji coba mRNA pada akhir tahun 2021.
Adapun lokasi uji coba berada di Afrika. Tempat ini dipilih karena orang-orang dengan HIV di Afrika tidak cukup dana untuk mengobati penyakit tersebut.
Selain itu, pengobatan yang dijalani oleh orang yang terinfeksi HIV tidaklah murah, biasanya sekitar 500.000 dollar AS atau sekitar Rp 7,1 miliar di negara maju.
Selain dana, diperkirakan hingga setengah dari populasi yang terinfeksi HIV di Afrika bahkan tidak menyadari kondisi mereka.
Terlepas dari keberhasilan dalam mengembangkan berbagai vaksin Covid-19, peneliti menilai HIV tetap jauh lebih sulit untuk diobati daripada virus corona.
HIV juga memiliki kemampuan untuk bermutasi lebih cepat daripada penyakit lain yang diketahui, dan tertanam dalam DNA pasien.
Apalagi, penyakit ini juga tidak mungkin disembuhkan secara permanen.
Varian virus HIV
Profesor Tomas Hanke dari Universitas Oxford mengatakan bahwa ketika seseorang terinfeksi virus HIV, maka virus itu akan mendiversifikasi dalam tubuhnya.
"Untuk virus corona, ada empat varian utama yang kami khawatirkan di seluruh dunia. Untuk HIV kita harus berurusan dengan 80.000 varian," ujar Hanke.
Mengetahui banyaknya varian HIV, tim di Jenner Institute memiliki tujuan untuk merangsang produksi sel-T, yang menghancurkan sel manusia lain yang sudah terinfeksi virus, melalui adenovirus yang dimodifikasi yakni ChAdOx-1.
Adenovirus ChAdOx-1 dirancang untuk melatih sel untuk mengenali HIV secara spesifik.
Hanke mengatakan, sel-T dapat membuktikan "tumit Achilles" HIV, menargetkan area penting bagi virus untuk bertahan hidup, dan umum untuk sebagian besar varian virus di seluruh dunia.
Tim berharap jika uji coba ini berhasil, vaksin tersebut dapat digunakan untuk mengobati pasien HIV-positif mulai Agustus 2021.
Sementara, tim Moderna percaya bahwa teknologi mRNA mungkin dapat memicu cukup sel B, bagian dari sistem kekebalan yang membuat antibodi, untuk mencegah HIV beradaptasi dengan inangnya.
Keyakinan ini didasarkan pada uji coba oleh Scripps Research, yang menemukan bahwa dalam sampel kecil dari 48 orang yang diberi vaksin serupa, 97 persen menunjukkan adanya reaksi kekebalan yang kuat terhadap HIV.
"Saya percaya bahwa teknologi mRNA akan menjadi revolusioner. Hal ini bisa menjadi sesuatu yang spektakuler jika kita mampu, di tahun-tahun mendatang, untuk mengobati HIV," ujar Kepala Eropa Moderna, Dan Staner.
Di sisi lain, dari pihak Scripps Research, Professor William Schief mengatakan bahwa perkembangan yang cepat dan kemanjuran yang tinggi dari vaksin Moderna Covid-19 menjadi pertanda baik bagi pekerjaannya terhadap HIV.
https://www.kompas.com/tren/read/2021/06/12/153000765/uji-coba-vaksin-hiv-dimulai-gunakan-teknologi-vaksin-covid-19