KOMPAS.com - Aturan sanksi bagi penolak vaksin Covid-19 diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019.
Perpres ini baru ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Dalam Pasal 13A Perpres Nomor 14/2021 itu disebutkan bahwa setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti vaksinasi Covid-19 dapat dikenakan sanksi administratif.
Sanksi administratif itu berupa:
Sanksi administratif tersebut akan dilakukan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau badan sesuai dengan kewenangannya.
Selain itu, Pasal 13B menyebutkan, setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti vaksinasi dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran Covid-19, selain mendapat sanksi di atas juga bisa dikenai sanksi sesuai ketentuan undang-undang tentang wabah penyakit menular.
Beragam reaksi muncul atas ketentuan sanksi ini. Ada yang menyorotinya dari perspektif hak asasi manusia (HAM). Kementerian Kesehatan menyatakan, sanksi merupakan langkah terakhir yang diambil.
Bagaimana tanggapan Komisi Nasional HAM?
Wakil Ketua Komnas HAM Hariansyah mengatakan, dalam perspektif HAM, pembatasan HAM dimungkinkan.
Apalagi, jika berkaitan dengan hak atas kesehatan dan keselamatan publik.
"Sehingga setiap orang dilarang untuk menolak program vaksin dari negara karena terkait dengan kesehatan dan keselamatan orang banyak," kata Hariansyah saat dihubungi Kompas.com, Kamis (18/2/2021).
Meski demikian, menurut dia, pemerintah harus memastikan edukasi kepada masyarakat, transparansi informasi jaminan atas keamanan, dan kehalalan dari vaksin Covid-19.
Pemerintah juga disarankan mengedepankan tindakan persuasif dan denda saja.
"Sanksi pidana upaya terakhir uktimum remedium setelah segala upaya persuasi dan denda atau kerja sosial telah dilakukan dan tentu bersifat sangat selektif penerapannya," kata dia.
Hariansyah menjelaskan, salah satu prinsip siracusa terkait pembatasan HAM adalah pembatasan yang dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang.
"Sekali lagi terkait dengan sanksi pidana mengingat salah satu rekomendasi Komnas HAM kebijakan tata kelola Covid-19 oleh pemerintah yang salah satunya mendorong pengurangan jumlah hunian di lapas maka, sebaiknya diterapkan secara selektif dan bersifat pamungkas," ujar dia.
Pernyataan yang hampir sama disampaikan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Taufan mengatakan, Komnas HAM berharap, pemerintah melakukan upaya edukasi soal vaksinasi Covid-19 secara maksimal kepada masyarakat.
Ia menilai, masih banyak yang belum paham manfaat vaksinasi, terutama di perdesaan.
"Namun tindakan yang lebih tegas bisa dilakukan kepada pihak yang menghalangi sosilisasi dengan cara menyebarkan berita bohong atau hoaks dengan mengambil tindakan pemberian sanksi yang lunak sampai yang lebih tegas," kata Taufan.
Kurang tepat
Sementara itu, saat dihubungi secara terpisah, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, ketiga sanksi yang dijatuhkan bagi penolak vaksin kurang tepat.
"Kurang tepat pendekatannya," ujar dia, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (18/2/2021).
Dia mengungkapkan, tantangan paling besar adalah membangun kesadaran terkait pentingnya vaksin.
Menurut Anam, pendekatannya bukan sanksi tetapi bisa berupa insentif. Misalnya, siapa saja yang mau divaksin akan diberi asupan tambahan gizi.
Tambahan asupan gizi di masa pandemi, kata dia, akan mengokohkan ketahanan kesehatan masyarakat.
Atau, bukti vaksinasi digunakan untuk memudahkan mengurus bantuan sosial.
"Ini soal paradigma pendekatan dan perspektif kesehatan. Narasi yang dibangun adalah mengajak semua untuk kesehatan dan membangun kesehatan masyarakat," kata Anam.
https://www.kompas.com/tren/read/2021/02/18/183200965/penolak-vaksin-covid-19-bisa-kena-sanksi-ini-kata-komnas-ham