Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

5 Satwa Langka Indonesia Ini Terancam Punah, Ternyata Ini Penyebabnya

KOMPAS.com - Perburuan dan penyelundupan spesies terancam punah dan dilindungi masih terjadi di Indonesia.

Terbaru, sembilan orangutan Sumatera (Pongo abelii) berhasil dipulangkan ke Tanah Air, setelah diselundupkan dan tinggal bertahun-tahun di Malaysia.

Dikutip dari Kompas.com, Minggu (20/12/2020) sembilan orangutan itu tiba di Bandara Internasional Kualanamu, Sumatera Utara, pada Jumat (18/12/2020).

Kepala Subdit Penerapan Konvensi Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Diitjend KSDAE, Nining Ngudi Purnama Ningtyas mengatakan, orangutan tersebut diselundupkan ke luar negeri saat masih berusia 1 satu tahun.

Mereka sudah lebih dari 5 tahun berada di luar negeri, dan saat dipulangkan ke Indonesia sudah berusia 6 tahun.

Satwa Asia yang terancam punah

Berdasarkan data Red List yang dirilis oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), pada tahun 2020 terdapat lebih dari 35.500 spesies di seluruh dunia yang terancam punah.

Di antaranya ada 5 spesies dari Indonesia yang tergolong dalam kondisi kritis, atau mendekati kepunahan. Orangutan Sumatera termasuk satu di antaranya.

Berikut daftar 5 satwa dari Indonesia yang terancam punah:

Orangutan termasuk spesies yang berada dalam kondisi sangat rawan punah. Ada tiga jenis orangutan di dunia, dan ketiganya berasal dari Indonesia.

Mereka adalah orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), orangutan Sumatera (Pongo abelii), dan orangutan Kalimantan/Borneo (Pongo pygmaeus).

IUCN memberi label CR (Critically Endangered) kepada ketiga spesies tersebut, sebab populasi mereka yang cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya.

Berdasarkan data IUCN tahun 2016, diperkirakan hanya tersisa sekitar 800 individu orangutan Tapanuli yang masih hidup.

Sementara itu, berdasarkan data yang sama, jumlah individu orangutan Sumatera yang tersisa diperkirakan sekitar 13.846 individu.

Sedangkan untuk orangutan Kalimantan/Borneo, belum dapat diketahui dengan pasti, kecuali untuk wilayah Sabah yang diperkirakan memiliki sekitar 11.000 individu pada tahun 2005.

Aktivitas manusia

IUCN menyebut, aktivitas manusia menjadi ancaman terbesar terhadap kepunahan ketiga spesies orangutan tersebut.

Aktivitas tersebut antara lain, pertambangan, pertanian dan perkebunan, pembukaan lahan untuk pemukiman, juga pembabatan hutan.  

Perburuan dan perdagangan ilegal orangutan juga kian memperburuk kelestarian spesies tersebut di alam liar.

Trenggiling Sunda (Manis javanica) merupakan spesies trenggiling yang tersebar di wilayah Asia Tenggara, antara lain Myanmar, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.

Spesies ini juga mendapat label CR dari IUCN, karena tren populasinya yang terus mengalami penurunan, hingga mencapai 80 persen, dalam 21 tahun terakhir.

IUCN mengatakan, populasi trenggiling Sunda sulit diperkirakan. Selain karena kelangkaannya, juga karena sifat dari spesies ini yang hidup bersembunyi sehingga sulit melakukan pemantauan.

Ancaman utama trenggiling Sunda adalah perburuan besar-besaran, baik untuk konsumsi pribadi maupun diperdagangkan di pasar internasional.

Ramuan obat

Tingginya perburuan trenggiling, sebagian besar didorong oleh permintaan di China dan Vietnam, serta nilai jualnya yang mahal. 

Di kedua negara itu, daging trenggiling dijadikan santapan mewah di restoran, dan sisiknya digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional.

Diperkirakan, lebih dari 280.000 trenggiling diperdagangkan di pasar Asia sepanjang tahun 2001 hingga 2018. Sebagian besar merupakan spesies trenggiling Sunda.

Para penyelundup Indonesia secara ilegal mengekspor trenggiling hidup serta daging dalam jumlah besar, terutama sejak tahun 2000, beberapa di antaranya berasal dari Kalimantan Timur.

Perburuan trenggiling Sunda merupakan ancaman terbesar di Indonesia, terutama di Sumatera, Kalimantan dan Jawa, terbukti dengan penyitaan yang melibatkan beberapa ribu trenggiling selama dua dekade terakhir.

Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan spesies badak yang tinggal di pulau Jawa, namun kini hanya bisa ditemukan di daerah Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.

IUCN juga memberikan label CR untuk spesies ini, karena hanya 33 persen dari populasinya yang diketahui mampu melakukan reproduksi.

Dikutip dari Kompas.com, 20 September 2020, jumlah kumulatif Badak Jawa menurut data terakhir Kementerian LHK, mencapai 74 individu, masing-masing 40 jantan dan 34 betina.

Jumlah tersebut termasuk dua ekor badak Jawa yang baru lahir pada tahun 2020, yaitu anak badak jantan Luther dan anak badak betina Helen.

Untuk komposisi umur populasi badak, terdiri dari 15 ekor berusia anak-anak dan 59 ekor merupakan usia remaja-dewasa.

Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Wiratno mengatakan, ada harapan bahwa kelangsungan hidup badak Jawa bisa dilestarikan,

Meski demikian, Wiratno menyebut bahwa badak Jawa adalah spesies yang sensitif dan butuh perlindungan penuh.

Dia mengatakan, penyebab menyusutnya populasi badak Jawa di masa lalu adalah karena aktivitas perkebunan di era kolonial, perburuan untuk mengambil cula badak, dan sifat badak yang penyendiri sehingga menyulitkan terjadinya reproduksi alami.

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan subspesies harimau asli (endemik) pulau Sumatera, Indonesia.

IUCN menetapkan status spesies ini adalah CR, karena populasinya yang sangat sedikit dan potensinya yang rawan punah.

Dikutip dari Kompas.com, 25 Juli 2020, populasi harimau Sumatera diperkirakan tidak sampai 400 ekor, berdasarkan data pada 2004.

Penyempitan habitat dan tingginya perburuan liar menjadi ancaman yang harus dihadapi oleh spesie yang hampir punah ini.

Hilangnya habitat

Perluasan perkebunan kelapa sawit di pulau Sumatera merupakan pendorong utama di balik hilangnya hampir 20 persen habitat harimau Sumatera pada 2002-2012.

Perburuan liar harimau Sumatera didorong oleh permintaan bagian-bagian tubuh harimau yang banyak digunakan dalam pengobatan tradisional, terutama di China.

Meski demikian sangat banyak bukti ilmiah yang menyatakan bahwa bagian-bagian tubuh harimau Sumatera tidak memiliki nilai manfaat sama sekali dari segi medis.

Rangkong gading (Rhinoplax vigil) merupakan spesies burung yang bisa ditemukan di Sumatera dan Kalimantan, juga di Thailand dan Myanmar.

Maskot provinsi Kalimatan Barat ini disebut spesies prioritas untuk konservasi karena statusnya yang makin terancam punah.

Dikutip dari Kompas.com, 30 Agustus 2019, berdasarkan data red list IUCN, mulanya rangkong gading berstatus terancam punah (near threatened), tapi pada 2015 status itu berubah menjadi kritis (critically endangered).

Yokyok Hadiprakarsa dari Rangkong Indonesia International Hemeted Hombill Conservation Society menyatakan, banyak sekali persoalan yang menyebabkan Rangkong Gading Indonesia ini menjadi berstatus kritis tersebut.

Lambat berbiak

Dari fakta bioekologinya, burung yang satu ini berbiak lambat dalam satu siklus. Mereka hanya akan menghasilkan 3 butir telur sekali bereproduksi. Ini lain dengan unggas pada umumnya yang menghasilkan telur banyak dan konsisten.

Kemudian, banyak orang merasa tertarik untuk mengkoleksi dan atau melakukan jual-beli aksesoris yang dibuat dari bagian tubuh rangkong gading.

Hasil perburuan rangkong gading bahkan di komersialisasikan dan dilelang dalam bentuk bervariasi, seperti cincin, gelang, ukiran, helai ekor burung dan lainnya, yang terbuat dari paruh dan bulu ekor.

Penjualan aksesoris dari rangkong gading ini paling banyak bermuara di Tiongkok, China. Dalam tahun 2012-2017 telah ditemukan sekitar 2.800 paruh rangkong gading yang berada di pasaran gelap.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/12/20/172100165/5-satwa-langka-indonesia-ini-terancam-punah-ternyata-ini-penyebabnya

Terkini Lainnya

Kucing di China Nyalakan Kompor dan Picu Kebakaran, Dipaksa 'Kerja' untuk Bayar Kerugian

Kucing di China Nyalakan Kompor dan Picu Kebakaran, Dipaksa "Kerja" untuk Bayar Kerugian

Tren
Imbas Gunung Ruang Kembali Erupsi, Bandara Sam Ratulangi Manado Ditutup Sementara hingga Besok

Imbas Gunung Ruang Kembali Erupsi, Bandara Sam Ratulangi Manado Ditutup Sementara hingga Besok

Tren
4 Keputusan Wasit Shen Yinhao yang Dianggap Merugikan Timnas di Laga Indonesia Vs Uzbekistan

4 Keputusan Wasit Shen Yinhao yang Dianggap Merugikan Timnas di Laga Indonesia Vs Uzbekistan

Tren
Kronologi Kecelakaan Motor Harley-Davidson di Probolinggo, Dokter dan Istrinya Jadi Korban

Kronologi Kecelakaan Motor Harley-Davidson di Probolinggo, Dokter dan Istrinya Jadi Korban

Tren
Ramai soal Setop Imunisasi Anak, Apa Dampaknya pada Tubuh Si Kecil?

Ramai soal Setop Imunisasi Anak, Apa Dampaknya pada Tubuh Si Kecil?

Tren
Analogi Shin Tae Yong dan Wibisana

Analogi Shin Tae Yong dan Wibisana

Tren
Indonesia Masih Berpeluang Lolos ke Olimpiade Paris 2024, Ini Skenarionya

Indonesia Masih Berpeluang Lolos ke Olimpiade Paris 2024, Ini Skenarionya

Tren
Indonesia Mulai Memasuki Musim Kemarau, Kapan Puncaknya?

Indonesia Mulai Memasuki Musim Kemarau, Kapan Puncaknya?

Tren
Ilmuwan Pecahkan Misteri 'Kutukan Firaun' yang Tewaskan 20 Orang Saat Membuka Makam Tutankhamun

Ilmuwan Pecahkan Misteri "Kutukan Firaun" yang Tewaskan 20 Orang Saat Membuka Makam Tutankhamun

Tren
3 Keputusan VAR yang Dinilai Rugikan Garuda Muda di Laga Indonesia Vs Uzbekistan

3 Keputusan VAR yang Dinilai Rugikan Garuda Muda di Laga Indonesia Vs Uzbekistan

Tren
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pemerhati Kritisi Persoalan Komunikasi dan Transparansi

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pemerhati Kritisi Persoalan Komunikasi dan Transparansi

Tren
Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Kelapa Muda? Ini Kata Ahli

Bolehkah Penderita Diabetes Minum Air Kelapa Muda? Ini Kata Ahli

Tren
Kata Media Asing soal Kekalahan Indonesia dari Uzbekistan, Soroti Keputusan Kontroversial Wasit

Kata Media Asing soal Kekalahan Indonesia dari Uzbekistan, Soroti Keputusan Kontroversial Wasit

Tren
Pengakuan Guru SLB soal Alat Belajar Tunanetra yang Ditahan Bea Cukai

Pengakuan Guru SLB soal Alat Belajar Tunanetra yang Ditahan Bea Cukai

Tren
Ikan Kembung, Tuna, dan Salmon, Mana yang Lebih Baik untuk MPASI?

Ikan Kembung, Tuna, dan Salmon, Mana yang Lebih Baik untuk MPASI?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke