KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada Rabu (25/11/2020) dini hari terkait kasus dugaan suap terkait penetapan izin ekspor baby lobster (benur).
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, Edhy ditangkap tim KPK di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, saat kembali dari Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.
Setelah menjalani pemeriksaan kurang dari 24 jam, KPK akhirnya menetapkan Edhy Prabowo sebagai tersangka.
"KPK menetapkan total tujuh orang tersangka dalam kasus ini. EP (Edhy Prabowo) sebagai penerima," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (25/11/2020) pukul 23.45 WIB.
Edhy tampak mengenakan jaket tahanan KPK berwarna oranye bersama empat tersangka lainnya.
Bukan hanya menteri, sejak didirikan pada 2003, banyak pejabat lain yang sebelumnya terlebih dahulu dicokok KPK karena terkait kasus korupsi.
Mulai dari pejabat instansi atau kementerian, bupati, wali kota, gubernur, bahkan hingga anggota DPR.
Lantas, mengapa masih ada pejabat yang doyan korupsi?
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menilai ada tiga hal yang mendasari hal itu.
Pertama, karena masih adanya titik-titik kelemahan dalam sistem administrasi publik dan sistem kontrol.
Menurutnya, dengan adanya kelemahan ini akibatnya ada ruang-ruang kosong yang akhirnya dimasuki oleh para segelintir pejabat yang berniat tidak baik.
"Tentu, ini harus ditutupi oleh inovasi-inovasi yang perlu terus dikembangkan, ini tugas dari kementerian terkait agar sistem administrasi negara ini menjadi lebih memiliki kekuatan," kata Drajat saat dihubungi Kompas.com, Kamis (26/11/2020).
Walaupun begitu, nantinya akan ada paradoks di dalam sistem administrasi negara.
Apabila dibuat longgar dan fleksibel, kata Drajat, maka akan dimanfaatkan untuk kecurangan-kecurangan.
"Tetapi, kalau dibuat sangat ketat, akan mengakibatkan kesulitan, ketiak efisiensian dan tentu akan mengakibatkan ada orang membuat inovasi-inovasi untuk mengalahkan sistem yang ketat itu melalui hubungan-hubungan personal," ucap Drajat.
Faktor berikutnya menurut Drajat yang mendasari mengapa masih ada pejabat yang doyan korupsi adalah adanya kelemahan dari negara.
Kelemahan yang dimaksud adalah berasal dari sistem pemerintahan yang menyangkut pengendalian relasi ekonomi politik.
"Jadi ada kecenderungan perilaku rente yang harus ditekan dan hal tersebut masih belum bisa dilakukan," papar Drajat.
"Di sini para pejabat ini memiliki hak menetapkan aturan, menyetujui investasi dan sebagainya dengan para pengusaha yang memang menawarkan uang, fasilitas agar mereka mendapatkan kemudahan," tambahnya.
Dalam hubungan tersebut, kata Drajat, di dalamnya terdapat kecenderungan untuk rente atau untuk mencari keuntungan untuk dirinya sendiri.
Drajat mengungkapkan, perilaku rente tersebutlah yang harusnya bisa untuk lebih ditekan.
Integritas pejabat
Faktor ketiga, menurut Drajat adalah faktor dari integritas pejabat yang bersangkutan.
Menurutnya, pejabat boleh saja memiliki atau memiliki bisnis lain. Asalkan, dirinya mampu menjaga integritas dan amanah yang diberikan kepadanya.
"Berarti di sini menyangkut soal sistem rekrutmennya yang harus betul-betul solid dan bertanggung jawab," ucap Drajat.
"Mengapa para pejabat misalnya menteri bisa masuk ke dalam birokrasi pemerintahan, itu disebabkan karena dipilih melalui sistem pemilihan. Misalnya kalau menteri ya berarti dipilih oleh presiden," imbuh dia.
Oleh karena itu, dalam hal ini sistem pemilihan harus sangat selektif.
Sehingga, pejabat yang dipilih benar-benar dapat dikontrol integritasnya untuk lima tahun menjabat akan tetap bersih dari perilaku korupsi.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/11/26/165100965/edhy-prabowo-dan-mengapa-masih-ada-pejabat-yang-doyan-korupsi-