KOMPAS.com - Penggunaan jasa influencer oleh pemerintah dikabarkan menyedot dana yang tidak sedikit.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), pemerintah telah menghabiskan Rp 90,45 miliar untuk aktivitas digital yang melibatkan jasa influencer.
Angka tersebut didapatkan dari hasil penelusuran pada situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sejumlah kementerian dan lembaga pada periode 2014-2018.
Pengadaan untuk aktivitas yang melibatkan influencer tersebut baru muncul pada 2017 dan terus berkembang hingga 2020 dengan total paket pengadaan sebanyak 40 paket.
Terdapat 34 kementerian, 5 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), serta dua institusi penegak hukum yakni Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung yang ditelusuri.
Lantas apa itu influencer dan apa bedanya dengan buzzer?
Pengamat media sosial Enda Nasution menjelaskan, influencer adalah orang atau akun media sosial yang memiliki nama dan latar belakang jelas yang bertujuan menyebarkan informasi atau mendukung sesuatu isu atau orang.
"Jadi kalau misalnya akun tersebut memiliki nama dan real orangnya, contohnya selebritis atau profesi lainnya yang punya follower besar dan punya sikap atau preferensi untuk mendukung sesuatu atau tidak mendukung sesuatu maka bisa disebut dengan influencer," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (21/8/2020).
"Dalam kategori influencer, mereka memiliki nama asli dan latar belakang yang jelas, misalnya orang-orang partai, politisi, orang bisnis, atau pengamat-pengamat politik, kita tidak bisa menyebut mereka sebagai buzzer, mereka adalah influencer yang punya preferensi dukung mendukung sesuatu isu atau orang," jelas Enda.
Bedanya dengan buzzer
Sementara itu, berbeda halnya dengan yang namanya buzzer.
Buzzer , imbuhnya merupakan akun-akun di media sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan.
"Buzzer lebih ke kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, lalu kemudian biasanya memiliki motif ideologis atau motif ekonomi di belakangnya, dan kemudian menyebarkan informasi," kata Enda.
"Kan tidak ada konsekuensi hukum juga menurut saya, ketika ada orang yang mau mem-bully atau menyerang atau dianggap melanggar hukum, dia tinggal tutup aja akunnya atau menghapus akunnya atau dibiarkan saja hingga tidak aktif lagi," lanjut dia.
Ia menambahkan, buzzer ini tidak perlu ketahuan siapa orangnya, bahkan di media sosial sering ditemukan tidak ada orangnya.
Hanya akun dengan follower yang banyak, tetapi misalnya yang secara kontinyu mengunggah beberapa hal.
"Nilai yang mereka berikan hanya sebatas bahwa audiens yang mereka miliki besar, sehingga sebuah informasi bisa tersebar luas. Istilah marketingnya meng-increase awareness," jelas Enda.
Menurut dia, buzzer kemungkinan besar mendapat bayaran, apakah itu dana atau bisa juga berupa produk (barter).
"Karena dengan cara itulah mereka mendapat penghasilan, tapi seperti yang disampaikan tadi, nilai yang diberikan sebatas informasi saja," papar Enda.
Dampak buzzer
Menurut Enda, kehadiran buzzer memiliki dampak di masyarakat.
"Dampaknya yakni kebingungan dari masyarakat, siapa yang harus dia percaya, walaupun ada sumber-sumber yang kredibel misal media yang kredibel, pemerintah juga masih sebagai sumber yang kredibel," jelas Enda.
"Tapi di zaman media sosial seperti sekarang, informasi tidak dilihat dari sumbernya yang mana, bahkan seringkali enggak tahu sumbernya dari mana karena merupakan hasil copy paste dari WhatsApp, atau status Facebook dan sebagainya," lanjut dia.
Sehingga, yang terjadi adalah masyarakat harus menentukan sendiri harus percaya dengan siapa.
Kebanyakan masyarakat memercayai sesuatu melalui referensi yang telah ia miliki sebelumnya.
"Bila dia merasa kelompok A itu jahat, maka informasi yang mendukung referensi itu, akan ia percaya dan akhirnya ia sebarkan, begitu juga sebaliknya," kata Enda.
Jadi, menurut Enda, banyak informasi yang sering kali membuat kita hidup dalam ketidakpastian.
"Bila akan terus begini, kita akan terjebak dalam popularism artinya seolah-olah yang paling populer itu yang benar, padahal kebenaran itu bukan masalah populer atau tidak," katanya lagi.
Fenomena buzzer di Indonesia
Menurut dia, fenomena buzzer sebenarnya sama seperti ketika media sosial pertama kali dijadikan ajang untuk perang opini dan berusaha memenangkan opini publik.
"Nah, dalam alam demokratis yang sifatnya kontestasi seperti ini, maka kemudian siapa yang menang secara opini, maka dia juga yang dianggap lebih populer, akhirnya kehadiran buzzer mulai muncul di situ," terang dia.
Hal itu dikarenakan ruang-ruang publik sekarang tidak lagi dipenuhi media mainstream, tetapi juga media sosial yang sama-sama memengaruhi dan berusaha meyakinkan publik terhadap satu atau lain isu.
"Jadi sebenarnya konsekuensi real dari kehadiran ruang publik dan juga sistem demokrasi, makanya muncullah buzzer-buzzer ini, kelompok-kelompok yang berusaha untuk berperang atau memenangkan opini di ruang publik," kata dia.
Enda juga mengatakan, buzzer ada yang dibayar dan ada juga yang hanya sukarelawan.
"Bila dia (sukarelawan), biasanya karena motif ideologis, karena memang dia setuju dengan isu ini," terang Enda.
Sedangkan buzzer yang dibayar biasanya memiliki motif ekonomi, artinya mungkin selain mendukung, ia juga profesional di bidang tersebut sehingga mendapat bayaran.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/08/21/204100565/mengenal-apa-itu-influencer-yang-jasanya-disebut-disewa-pemerintah-hingga