Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pidato di Wisuda Harvard, Ini yang Disampaikan Nadhira Afifa

KOMPAS.com - Nadhira Nuraini Afifa tak menyangka terpilih menjadi student speaker mewakili angkatannya pada wisuda online Harvard 2020 yang digelar pada 28 Mei 2020.

Nadhira Afifa adalah mahasiswi asal Indonesia yang menempuh pendidikan S2 di Department of Global Health and Population, Harvard TH Chan School of Public Health.

Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini menjalani pendidikan masternya melalui beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Dalam studinya, Nadhira fokus pada topik nutrisi. Ia terlibat dalam beberapa proyek yang berkaitan dengan anak-anak  kekurangan gizi, terutama stunting di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Awal tahun ini, dia berkesempatan mengunjungi Tanzania untuk menangani masalah gizi buruk di kalangan remaja sekolah di Kota Dodoma bersama beberapa mahasiswa Harvard lainnya.

Nadhira menjalani serangkaian seleksi hingga akhirnya terpilih untuk berpidato mewakili angkatannya.

Apa yang disampaikan Nadhira dalam pidatonya? 

Isi pidato Nadhira

Berikut ini pidato yang diungkapkan oleh Nadhira saat kelulusan, dikutip dari tayangan akun YouTube Harvard TH Chan School of Public Health:

Selamat sore semuanya. Salam untuk Dekan Williams, staf pengajar, staf, dan alumni, dan kepada lulusan 2020: Selamat!

Selamat kepada para orangtua kita, teman-teman, dan orang-orang terkasih, yang tanpa mereka hari ini tidak akan seistimewa hari ini, kita semua telah mendapatkannya dan harus menghargainya bersama-sama.

Izinkan saya mengajukan pertanyaan: Berapa banyak dari Anda ketika Anda masih kecil, dan Anda ditanya “Apa yang ingin Anda lakukan?” lalu menjawab “Profesional Kesehatan Masyarakat!”? Saya juga tidak. Namun, kita akhirnya berada di posisi ini.

Saya tidak akan pernah melupakan hari orientasi pertama di sekolah ini. Saya makan siang di kamar mandi dengan kaki di dudukan toilet, jadi tidak ada yang tahu bahwa saya ada di sana. Saat itu, saya sangat takut pada segalanya – terutama, saat rehat kopi. Saya sangat gugup karena harus melakukan obrolan ringan. Saya tidak tahu harus berkata apa, saya takut mengatakan sesuatu yang salah, saya takut terlihat “berbeda.” Bahkan dengan hanya mengenakan jilbab saya sudah membuat identitas saya jelas tanpa perlu memberi tahu siapa pun apa yang saya percayai. Saya telah melihat banyak berita tentang Islamofobia dan itu membuat saya khawatir.

Namun, segera sesudah memasuki minggu kedua saya di sekolah ini persepsi saya mulai berubah. Saya menemukan ruang salat di lantai bawah. Yang mengejutkan, Harvard memberi kami ruang sembahyang yang sangat nyaman yang dilengkapi dengan semua hal yang kami butuhkan untuk salat. Yang membuatnya lebih istimewa, adalah teman Yahudi saya yang menunjukkan ruangan itu kepada saya karena dia melihat saya sembahyang di bawah tangga darurat.

Kesetaraan, inklusivitas, persatuan – Saya tidak bisa memikirkan tempat yang lebih baik yang bisa saya pelajari semuanya kecuali di sini. Sedikit demi sedikit, Harvard Chan dan semua orang di dalamnya telah menjadi rumah baru saya — 10.000 mil jauhnya dari rumah asal saya. Meskipun perlahan, saya kembali menjadi orang yang percaya diri seperti ibu saya.

Mama selalu menjadi orang yang menginspirasi saya. Dia adalah anak bungsu dari 11 bersaudara, lahir dan besar dari keluarga petani di pulau Sumatra di Indonesia. Anak-anak petani tidak bersekolah saat itu. Kakak dan dan abangnya bekerja sangat keras untuk menyekolahkan Mama ke perguruan tinggi dan dia tidak menerima begitu saja. Ketika saya masih kecil, Mama mengajarkan saya pelajaran penting dalam hidup: “Bermimpilah tinggi, karena satu-satunya batasan kita adalah pikiran kita.” Itulah yang membuatnya terus melalui masa-masa sulit. Meskipun kurang mampu, Mama telah membesarkan tiga anak yang semuanya menyelesaikan gelar master.

Nilai-nilai yang Mama ajarkan pada saya terus menggema sepanjang hidup. Dia telah membesarkan saya dari seorang siswa di sebuah kota kecil di Indonesia hingga lulusan dari sekolah Kesehatan Masyarakat terbaik di dunia. Namun, saya tidak akan berhenti di sini. Hari ini hanyalah awal dari perjalanan kita yang lebih besar. Dan saya mendorong Anda semua untuk berjanji bahwa kita tidak akan menghentikan diri kita untuk melompat lebih tinggi, berkontribusi lebih banyak, dan membuat dampak bagi dunia melalui kesehatan masyarakat.

Kesehatan Masyarakat memberi kita hak istimewa untuk menyelamatkan kehidupan jutaan orang dan meningkatkan kesehatan serta umur panjang generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Hanya melalui Kesehatan Masyarakat kita dapat melihat sekarang seluruh negara melupakan perbedaan mereka dan mengumpulkan sumber dayanya. Di bawah berita utama dramatis coronavirus yang suram, ada banyak kisah kolaborasi dan dedikasi. Pada masa krisis ini, kita menyadari bahwa tidak peduli betapa istimewanya kita atau dari mana pun kita berasal, kita dihadapkan pada risiko yang sama bahwa hanya dengan saling membantu, kita akan bertahan. Untuk sesaat, orang dipersatukan melalui upaya kesehatan masyarakat meskipun ada perbedaan etnis, kebangsaan, atau spiritualitas.

Saudara dan saudari sekalian, Anda telah memilih untuk berada di sini hari ini karena Anda dipanggil untuk melayani, untuk menghargai kehidupan orang-orang yang bahkan belum pernah Anda temui, atau Anda mungkin tidak akan pernah bertemu.

Jadi, izinkan saya mengubah pertanyaan: Berapa banyak dari Anda, sekarang setelah Anda menyelesaikan Harvard, akan dengan bangga mengatakan “Saya senang menjadi profesional kesehatan masyarakat!”?

Alumni 2020, selamat datang di dunia Kesehatan Masyarakat yang sering kali menyenangkan, terkadang melelahkan, jarang dihargai, tetapi selalu penting! Terima kasih.

"Ini merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi aku. Sangat membanggakan juga buat aku, sebuah kejutan yang luar biasa untuk mengakhiri journey aku di Harvard," kata Nadhira dalam channel YouTube-nya, Nadhira Nuraini Afifa.

Seleksi

Nadhira mengatakan, ia mengikuti seleksi untuk terpilih menjadi pembicara dalam wisuda tersebut. Ada beberapa tahap, dari seleksi tertulis hingga video.

Nadhira lolos tahap demi tahap. Ketika lolos tahap awal, dia mendapatkan bimbingan mengenai cara berpidato dari dosen terpilih Harvard.

Walaupun nantinya tidak lolos sampai akhir, dia merasa beruntung telah mendapatkan ilmu. Ternyata, Nadhira lolos menjalani serangkaian seleksi.

Butuh latihan berhari-hari sampai dia dan suaminya bosan mendengarnya. Nadhira juga terus mengingat berbagai saran dari coach-nya, memperbaiki ekspresinya, dan menyesuaikan logatnya agar bisa dipahami orang Amerika Serikat.

"Dapat kesempatan luar biasa bisa mewakili angkatan, ngasih pidato, menceritakan banyak hal yang mau aku ceritain ke banyak orang lewat pidato ini. Jadinya aku sangat bersyukur dan mudah-mudahan ke depannya bisa memanfaatkan ilmu aku dengan baik," kata Nadhira.

Dalam pidatonya, Nadhira menceritakan pengalaman pertamanya masuk kampus, beradaptasi dengan lingkungannya, hal-hal yang menjadi motivasinya, hingga apa yang dia inginkan untuk mengubah dunia.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/05/204400665/pidato-di-wisuda-harvard-ini-yang-disampaikan-nadhira-afifa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke