Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dari GBHN hingga Pilkada Tak Langsung, 3 Wacana Hidupkan Lagi Aturan Lama

Wacana tersebut adalah mengenai perubahan yang berkaitan dengan amandemen UUD 1945 serta wacana mengenai pilkada.

Wacana-wacana tersebut menuai sejumlah pro dan kontra. Tak semua pihak mendukung, namun juga tak semua  menolak.

Berikut ini beberapa wacana mengenai hidupnya lagi aturan lama yang mencuat ke publik dari mulai dihidupkannya GBHN, perubahan masa jabatan, hingga kembalinya pilkada menjadi tak langsung:

1. Dihidupkannya kembali GBHN

GBHN merupakan haluan negara yang berfungsi sebagai rujukan bagi DPR dan pemerintah dalam merumuskan regulasi.

Wacana menghidupkan kembali ini muncul sejak MPR periode 2014-2019.

Melansir pemberitaan Kompas.com pada (18/08/2019), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sepakat untuk melakukan amandemen Undang-Undang dasar (UUD) 1945 terkait dengan GBHN.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua MPR periode 2014-2019 Zulfikli Hasan.

"Kalau dulu amandemen bisa sekaligus, berbagai macam, ini enggak bisa, jadi hanya satu saja yang bisa diamandemen, makanya amandemen terbatas mengenai GBHN, titik, enggak boleh yang lain," ujar Zulkifli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Minggu (18/8/2019).

Wacana tersebut kemudian diteruskan kepada MPR periode berikutnya karena saat itu usulan diajukan kurang dari 6 bulan masa jabatan MPR periode 2014-2019 berakhir.

Berbagai pandangan publik muncul terkait hidupnya lagi GBHN. Seperti kekhawatiran akan rusaknya system presidensiil, maupun kecemasan menjadi mundurnya demokrasi ke belakang.

Melansir pemberitaan Kompas.com (4/11/2019) Ketua MPR periode 2019-2024 Bambang Susatyo menghimbau publik untuk tak berpikiran negatif terkait wacana tersebut.

Bambang mengatakan GBHN dihidupkan guna menjaga dan memperkuat kesatuan dan kebinekaan bangsa dari perubahan zaman.

Kendati demikian melansir dari pemberitaan Kompas.com (10/10/2019)
Suara fraksi di MPR belum bulat mengenai keputusan tersebut.

Fraksi Partai Golkar, Demokrat serta Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai, wacana menghidupkan kembali GBHN tak perlu dengan jalan amandemen UUD 1945. Tapi cukup dengan menerbitkan Undang-Undang.

2. Masa jabatan presiden diperpanjang

Meski sempat disampaikan Ketua MPR periode sebelumnya bahwa amandemen nantinya terbatas pada masalah GBHN.

Namun Wakil Ketua MPR dari PKS Hidayat Nur Wahid melansir dari pemberitaan Kompas.com (22/11/2019) mengakui bahwa memang ada wacana perubahan masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Menurutnya secara informal terdapat anggota fraksi yang mewacanakan presiden dapat dipilih kembali sebanyak tiga periode.

Tetapi juga terdapat pula wacana bahwa presiden hanya dapat dipilih satu kali, namun masa jabatan diperpanjang menjadi 8 tahun.

Meski demikian, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan belum ada pembahasan mengenai wacana penambahan masa jabatan presiden.

"Sampai detik ini kita belum pernah membahasnya. Jadi terkait dengan wacana jabatan presiden tiga kali sampai detik ini kita belum pernah membahasnya," kata Bambang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/11/2019).

Ia juga menilai bahwa jabatan presiden yang sekarang dimana penetapan dua kali dan  dilakukan melalui pemilihan langsung sudahlah tepat.

Sementara itu Kepala Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat menilai, perubahan masa jabatan presiden bisa membahayakan.

"Kalau amendemen terbatas itu betul-betul terbatas, hanya ingin menghadirkan pokok-pokok haluan negara. Itu yang direkomendasikan oleh MPR periode lalu. Itu saja. Yang lain-lain itu enggak ada," ujar Djarot dilansir dari Kompas.com (25/11/2019).

Ia mengkhawatirkan jika masa jabatan presiden ditambah, nantinya bisa kembali lagi seperti pada masa orde baru.

"Kalau kita tetap seperti sekarang. Dua periode. Tidak tiga periode. Kembali lagi nanti kayak pak Harto. Pak Harto berapa kali tuh," tutur Djarot.

3. Pilkada langsung menjadi pilkada tak langsung

Dengung mengenai perubahan pilkada langsung ke tidak langsung mencuat usai Menteri dalam negeri Tito Karnavian melempar wacana untuk mengevaluasi pilkada langsung.

Ia mengungkapkan hal tersebut usai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen Rabu (6/11/2019)

Tito mempertanyakan apakah pilkada langsung masih relevan saat ini.

"Tapi kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem politik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," kata Tito.

Ia menilai pilkada langsung memang memberi manfaat pada partisipasi demokrasi, namun juga banyak mudaratnya karena biaya politik juga tinggi.

Sehingga ia menganjurkan adanya riset atau kajian mengenai manfaat pilkada langsung.
Evaluasi terhadap pilkada langsung dikhawatirkan banyak pihak akan mengembalikan lagi pilkada lewat DPRD sehingga tak langsung dipilih oleh rakyat.

Sementara itu, pada Senin (25/11/2019) Tito memberikan keterangannya terkait evaluasi pilkada yang pernah ia katakan.

Ia menegaskan bahwa dirinya tak pernah mengatakan ingin mengembalikan sistem pilkada langsung ke sistem tidak langsung.

"Saya tidak pernah sama sekali pun mengatakan kembali kepada DPRD, enggak pernah. Tidak pernah juga saya mengatakan pilkada langsung dihilangkan. No, never (tidak pernah berbicara hal itu)," ujar Tito.

Menurutnya yang selama ini ditekankan adalah evaluasi atas dampak negatif pelaksanaan pilkada serentak dan langsung.

Evaluasi ini harus dilakukan dengan kajian akademis dan bukan Kemendagri.

Sumber: Kompas.com / (Kristian Erdianto, Haryanti Puspa Sari, Devina Halim, Haryanti Puspa Sari, Kristian Erdianto, Dian Erika Nugraheny | Editor: Krisiandi, Sabrina Asril, Icha Rastika, Diamanty Meiliana, Fabian Januarius Kuwado)

https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/26/063400365/dari-gbhn-hingga-pilkada-tak-langsung-3-wacana-hidupkan-lagi-aturan-lama

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke