Ternyata, menurut para ahli komunikasi, ethos juga merosot apabila seorang rhetor terlalu banyak bicara, berulang kali mengirim pesan -- alias “cerewet” -- baik dalam komunikasi tatap muka (offline), maupun online di media sosial.
Audiens jadi jenuh, atau ‘bosan’ terhadap sang pembicara, terutama bila pesan-pesan itu tidak dibutuhkan audiens.
Terlebih dalam era sekarang, pada saat kita dibanjiri ribuan pesan dalam media sosial setiap hari, maka sejumlah konten seringkali akan dilewatkan atau dihapus oleh penerima (pengguna medsos).
Maka tidak salah, jika dalam suatu ruang publik (public sphere), kayak dalam grup WhatsApp (WA), misalnya, mereka yang terlalu sering mengirim pesan, terlebih bila itu sekadar meneruskan (forward) konten orang lain, akan memicu turunnya kredibilitas (ethos) dirinya di mata orang lain.
Ada kawan saya yang menguasai ilmu komunikasi bilang, “Jika ada seseorang yang begitu, saya akan melewatkan konten yang dikirimnya di grup WA itu, tidak pernah lagi menyimaknya, dan makin lama, harga dirinya makin merosot di mata saya. Ternyata, waktu saya cek pada teman-teman yang lain di grup, banyak yang punya sikap sama dengan saya.“
Harga diri yang merosot itulah yang rupanya setara dengan inflasi di bidang keuangan. Lalu, siapa yang sering melakukan hal itu?
Lazimnya pengiriman pesan (konten) begitu dilakukan oleh mereka yang kurang teliti, tidak berhati-hati, atau punya terlalu banyak “waktu luang,” sampai-sampai segala hal dikomentarinya.
Biasanya orang seperti seolah-olah "ahli dalam semua perkara," mulai soal olahraga, sosial, politik, polemik di dunia, ekonomi, budaya, sampai agama – semua tidak luput dari komentarnya.
Kawan yang lain menimpali, makanya benar pesan agama, “sebaik-baik segala sesuatu adalah yang di pertengahannya.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.