KALAU para ekonom biasa bicara inflasi, ada yang tanya, apakah hal itu dapat terjadi pada manusia? Entahlah, tapi mungkin ini bisa memberi sedikit gambaran yang mendekati hal itu.
Kata para ahli komunikasi, dari Aristoteles sampai zaman kiwari, jika ingin komunikasi Anda efektif, sebagai pembicara atau penulis, maka Anda harus berusaha persuasif.
Sebab kalau tidak efektif, maka pesan Anda itu sia-sia. (Saya lalu ingat pesan seorang ustadz, yang pertama melakukan kesia-siaan itu adalah setan).
Supaya pesan Anda persuasif, artinya pesan itu menyebabkan munculnya ‘engagement’ di media sosial atau membawa dampak, maka setiap komunikator (atau ‘rhetor,’ dalam istilah zaman Aristoteles) mesti mempertimbangkan audiens mereka, dan mengenali benar siapa audiens itu.
"Bicaralah sesuai dengan kadar pikiran audiens Anda," kata adagium Arab.
Nah, kunci persuasi ada tiga. Pertama, sang rhetor (pengirim pesan atau komunikator) punya ethos, yakni semacam kredibilitas diri.
Dokter, misalnya, punya ethos untuk bicara tentang kesehatan, sedangkan ethos dalam diri akuntan jelas ketika dia bicara perkara keuangan.
Kedua, pembicaraan itu mesti punya “argumen” yang dapat diterima akal sehat atau logos.
Kedua unsur itu menjadi syarat persuasi, agar kita dapat memengaruhi audiens, misalnya, memunculkan rasa senang, puas, gembira, rasa iba, kasihan, sedih — tergantung tujuan yang diinginkan dalam pengiriman pesan itu. Emosi yang muncul dalam diri audiens disebut pathos.
Elemen ketiga yang disebut pathos itu menjadi penanda bahwa pesan Anda efektif. Sebab Anda berhasil memantik emosi atau perasaan yang diajak bicara atau pembaca pesan Anda (ingat kata "pathy" dalam simpati atau empati, atau antipati?)
Sejatinya semua pesan yang disajikan melalui media (media sosial, radio, suratkabar, televisi, bahkan film), lazimnya punya tujuan memantik timbulnya emosi dalam diri audiens, pendengar, pembaca atau penonton?
Hanya dengan adanya pathos sajalah, pesan yang masuk akal (logis) oleh seorang yang punya ethos bisa menghasilkan dampak yang diharapkan.
Walakin masalahnya, ethos dapat berubah-ubah, bisa naik bisa turun. Ethos Anda meningkat, misalnya, karena ada rekomendasi dari orang lain.
Jika ada teman yang bilang, ”Dokter A itu jago lho, dan ia satu dari sedikit ahli dalam urusan penyakit jantung,” misalnya, maka ethos dokter A di mata pendengarnya akan naik.
Sebaliknya, jika ada informasi negatif terkait seseorang yang muncul belakangan, misalnya, informasi bahwa seorang rhetor sering ingkar janji, atau pembohong, maka ethos-nya di mata audiens pun menurun.