Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Mukti
Dosen

Dosen Fisafat dan Pemikiran Islam

Nalar Kritis Keagamaan dan Upaya Penjinakan "Artificial Intelligence"

Kompas.com - 11/05/2024, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dari sudut pandang arkeologis, manusia pada zaman dulu sudah pandai membuat alat-alat yang digunakan untuk melangsungkan hidup.

Dimulai dari manusia menggambar di gua pada masa prasejarah, pembuatan kapak batu dan senjata dari batu lainnya, pembuatan kertas, pembuatan alat cetak, hingga pembuatan komputer pada era informasi serta telepon genggam atau handphone.

Namun demikian, tidak dapat dihindari bahwa teknologi sebagai instrumen yang membantu kehidupan manusia, kini mengalami peningkatan.

Alih-alih penemuan dan penerapan teknologi memiliki tujuan yang baik, terdapat tendensi yang menyimpang, seperti instrumen kekuasaan atau sebagai persaingan komoditas untuk kepentingan komersial.

Teknologi bukan sekadar “alat pembantu” aktivitas manusia. Lebih jauh lagi, teknologi dapat menggeser, menimbulkan konsekuensi pada berbagai teori, sistem, dan ideologi.

Seorang filsuf sains dan teknologi Amerika Don Ihde (1934-2004) yang menggeluti filsafat teknologi berkesimpulan bahwa hubungan manusia dan teknologi adalah untuk mempersepsikan dunianya. Inti dari hubungan itu adalah pada diri manusianya sendiri.

Selama teknologi dipahami sebagai alat bantu manusia untuk mempersepsi akan dunianya, maka manusia akan tetap terjaga eksistensinya.

Eksistensi yang seperti apa? Eksistensi bahwa manusia mampu mengendalikan teknologi dan bukan malah sebaliknya.

Nalar kritis keagamaan

Kecemasan akan masa depan manusia karena faktor yang dibuatnya sendiri tampak aneh. Seolah, sesuatu yang diciptakan memiliki otoritas yang lebih besar dibanding penciptanya sendiri.

Jika AI adalah produk dari pemikiran manusia, maka manusia sendirilah yang dapat mengontrol ciptaannya. Dalam logika ini, teknologi tidak steril dari pengaruh manusia.

Pendapat yang memosisikan teknologi “berdiri bebas” setelah diciptakan tanpa campur tangan manusia menjadi problematis jika diterapkan pada teknologi AI yang jauh berbeda dengan teknologi lama seperti pisau, payung atau smartphone.

AI, sebagaimana dirumuskan oleh Russell & Norvig (2022) adalah simulasi kecerdasan manusia yang dimodelkan di dalam mesin dan diprogram agar bisa berpikir seperti halnya manusia.

Menurutnya, AI dirancang untuk dapat menjalankan aktivitas layaknya manusia, acting humanly, thinking humanly, thinking rationally, dan acting rationally, berpikir dan bertindak seperti manusia, sehingga mampu menggantikan manusia dalam menjalankan seluruh aktivitasnya.

Dalam nalar keagamaan (Islam), kemampuan berpikir manusia hingga menemukan teknologi canggih seperti AI tetaplah dalam kerangka sebagai “makhluk” yang otoritasnya dikontrol oleh Sang Kholik melalui mekanisme takdir.

Sementara kemampuan berpikir “kecerdasan buatan”/AI ada dalam kontrol penciptanya bernama manusia. Sehingga, berpikirnya AI tidak sama dengan berpikirnya manusia (ciptaan Tuhan).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com