Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Nalar Kritis Keagamaan dan Upaya Penjinakan "Artificial Intelligence"

Argumen itu digunakan untuk melandasi kecemasan akan keliaran teknologi terbaru bernama Artificial intelligence (AI)—selanjutnya ditulis AI—yang sering dialihbahasakan sebagai “kecerdasan buatan”.

Mengapa ada kecemasan dari sesuatu yang dibuat sendiri oleh manusia? Dan mengapa pula harus ada upaya penjinakan terhadap kecerdasan buatan itu?

Seperti ulasan pada naskah pidato Guru Besar itu dan banyak studi yang telah mendahuluinya bahwa aktivitas manusia yang menggunakan AI secara tidak terkontrol berpotensi akan merusak sendi-sendi kehidupan manusia lainnya.

Di antarnya adalah, meningkatnya pengangguran, terlanggarnya urusan privat seseorang, otomatisasi senjata.

Bahkan konon, lebih jauh, fisikawan Stephen William Hawking (1942-1018) memprediksi bahwa AI yang akan menghancurkan bumi berkeping-keping.

Maka, nasihat Aristotels tentang pentingnya etika dalam pendampingan teknologi menjadi relevan. Jangkuan pemikiran Aristotels yang jauh dan luas itu terasa signifikansinya dalam kerangka keberlangsungan kehidupan manusia akhir-akhir ini.

Tidak hanya merujuk pada Aristotels, pada abad modern, kita dapat merujuk pada fisikawan tersohor dunia Albert Einstein (1879-1955).

Sebagai ilmuan besar dunia, Einstein berkesimpulan bahwa antara sains, filsafat, dan agama harus bekerjasama untuk kemaslahatan kehudupan manusia.

Einstein sangat menghargai sains dan teknologi sebagai cara untuk memahami dunia, tetapi ia juga menghargai filsafat dan kebudayaan sebagai cara untuk memahami hakikat keberadaan manusia.

Ia juga menyatakan agama dan kepercayaan harus membantu manusia menjadi lebih baik, bukan membuat manusia merasa tidak berdaya atau bergantung pada kekuatan luar.

Dalam perenungannya terhadap relasi agama dan sains, ia mengatakan: “Saya tak dapat membayangkan seorang ilmuwan sejati tanpa iman yang mendalam semacam itu. Situasi ini dapat diungkapkan oleh gambaran: sains tanpa agama lumpuh, agama tanpa sains buta.”

Aristotels dan Albert Einstein adalah profil manusia cerdas di zamannya masing-masing yang mendasarkan etika, agama, dan kepercayaan sebagai sahabat sejati sains dengan tujuan yang sama: memuliakan kehidupan manusia di muka bumi.

Maka, jika ada perjalanan pemikiran manusia yang menghasilkan sains dan teknologi berpotensi merusak peradaban manusia, ia harus berdialog dengan nilai-nilai agama, etika, dan kepercayaan sebagai sahabat sains.

Manusia dan teknologi

Teknologi bukanlah suatu entitas yang terpisah dari manusia dan dunia kehidupan. Manusia dapat dikatakan sebagai homo technologicus (manusia-teknologis) karena manusia mempunyai kemampuan untuk mengembangkan teknologi untuk beradaptasi, mempermudah kehidupan, hingga mempertahankan hidup (Swaradesy, 2020).

Dari sudut pandang arkeologis, manusia pada zaman dulu sudah pandai membuat alat-alat yang digunakan untuk melangsungkan hidup.

Dimulai dari manusia menggambar di gua pada masa prasejarah, pembuatan kapak batu dan senjata dari batu lainnya, pembuatan kertas, pembuatan alat cetak, hingga pembuatan komputer pada era informasi serta telepon genggam atau handphone.

Namun demikian, tidak dapat dihindari bahwa teknologi sebagai instrumen yang membantu kehidupan manusia, kini mengalami peningkatan.

Alih-alih penemuan dan penerapan teknologi memiliki tujuan yang baik, terdapat tendensi yang menyimpang, seperti instrumen kekuasaan atau sebagai persaingan komoditas untuk kepentingan komersial.

Teknologi bukan sekadar “alat pembantu” aktivitas manusia. Lebih jauh lagi, teknologi dapat menggeser, menimbulkan konsekuensi pada berbagai teori, sistem, dan ideologi.

Seorang filsuf sains dan teknologi Amerika Don Ihde (1934-2004) yang menggeluti filsafat teknologi berkesimpulan bahwa hubungan manusia dan teknologi adalah untuk mempersepsikan dunianya. Inti dari hubungan itu adalah pada diri manusianya sendiri.

Selama teknologi dipahami sebagai alat bantu manusia untuk mempersepsi akan dunianya, maka manusia akan tetap terjaga eksistensinya.

Eksistensi yang seperti apa? Eksistensi bahwa manusia mampu mengendalikan teknologi dan bukan malah sebaliknya.

Nalar kritis keagamaan

Kecemasan akan masa depan manusia karena faktor yang dibuatnya sendiri tampak aneh. Seolah, sesuatu yang diciptakan memiliki otoritas yang lebih besar dibanding penciptanya sendiri.

Jika AI adalah produk dari pemikiran manusia, maka manusia sendirilah yang dapat mengontrol ciptaannya. Dalam logika ini, teknologi tidak steril dari pengaruh manusia.

Pendapat yang memosisikan teknologi “berdiri bebas” setelah diciptakan tanpa campur tangan manusia menjadi problematis jika diterapkan pada teknologi AI yang jauh berbeda dengan teknologi lama seperti pisau, payung atau smartphone.

AI, sebagaimana dirumuskan oleh Russell & Norvig (2022) adalah simulasi kecerdasan manusia yang dimodelkan di dalam mesin dan diprogram agar bisa berpikir seperti halnya manusia.

Menurutnya, AI dirancang untuk dapat menjalankan aktivitas layaknya manusia, acting humanly, thinking humanly, thinking rationally, dan acting rationally, berpikir dan bertindak seperti manusia, sehingga mampu menggantikan manusia dalam menjalankan seluruh aktivitasnya.

Dalam nalar keagamaan (Islam), kemampuan berpikir manusia hingga menemukan teknologi canggih seperti AI tetaplah dalam kerangka sebagai “makhluk” yang otoritasnya dikontrol oleh Sang Kholik melalui mekanisme takdir.

Sementara kemampuan berpikir “kecerdasan buatan”/AI ada dalam kontrol penciptanya bernama manusia. Sehingga, berpikirnya AI tidak sama dengan berpikirnya manusia (ciptaan Tuhan).

Dalam nalar ini, manusia memiliki kekuasaan untuk mengontrol ciptaannya sendiri sebagaimana Tuhan memiliki kewenangan menentukan takdir atas ciptaannya.

Dalam nalar keagamaan (Islam), manusia tidak mungkin dan tidak akan bisa bersaing dengan Tuhan. Dalam diri manusia, ada desain Tuhan berupa ruh.

Istilah ruh, hati, jiwa, dan akal adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan. Ruh adalah inti kehidupan yang mengarahkan al-Qalb, al-Nafs, al-Aql, dan iman yang ditebar oleh Tuhan dalam dada manusia.

Ruh adalah kepercayaan Tuhan untuk menjadi saksi perbuatan baik dan buruk dalam kehidupan manusia.

Maka, karena manusia secara eksistensial memiliki ruh yang dapat mengendalikan arah kebaikan dan arah keburukan, teknologi secanggih apapun dapat dikendalikan arahnya.

Andai saja prediksi Stephen Hawking itu benar bahwa AI akan menjadi faktor kerusakan bumi, peringatan al-Qur’an (QS. Ar Ruum: 41) tentang kerusakan bumi oleh ulah tangan manusia patut direnungkan kembali.

Dalam peringatan ini, al-Qur’an mengajak untuk kembali kepada Pencipta. Maksudnya menyadari eksistensi manusia dan kehidupannya untuk memakmurkan bumi dan seluruh peradaban manusia.

Singkatnya, untuk menjinakan AI diperlukan kesadaran eksistensial manusia sebagai “makhluk berpikir”, “makhluk etis”, “makhluk spiritual” sebagaimana pesan Aristotels dan Albert Einstein.

Dan jalan kembali kepada Tuhan adalah jalan yang bisa menyelematkan kehidupan manusia dan peradabannya.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/05/11/070000979/nalar-kritis-keagamaan-dan-upaya-penjinakan-artificial-intelligence

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke