Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dandi Supriadi, MA (SUT), PhD,
Dosen Jurnalistik

Kepala Kantor Komunikasi Publik Universtas Padjadjaran. Dosen Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad. Selain minatnya di bidang Jurnalisme Digital, lulusan pendidikan S3 bidang jurnalistik di University of Gloucestershire, Inggris ini juga merupakan staf peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Unpad.

Jurnalisme Musikal Alternatif Kontemporer

Kompas.com - 19/02/2024, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI TENGAH perkembangan teknologi yang tidak pernah berhenti, ditambah inovasi dan tren terus berubah, sudah dapat dipastikan bahwa pilihan alternatif dalam berkomunikasi akan selalu muncul.

Termasuk juga dalam dunia jurnalisme. Beberapa genre atau jenis presentasi karya jurnalisme telah lahir sebagai akibat pilihan yang semakin luas dan pemikiran kritis publik yang semakin matang dalam memilih cara mendapatkan informasi.

Kita telah mengenal istilah jurnalisme sastrawi, misalnya, yang mengembangkan cara penuturan berita dengan lebih naratif dan informal disertai warna-warna bahasa.

Ada juga jurnalisme komik, yang memadukan pemaparan informasi dengan penggunaan visual storytelling berupa gambar-gambar kronologis yang menggambarkan realita.

Sampai saat ini inovasi dalam presentasi berita terus bermunculan. Salah satunya adalah yang disebut sebagai jurnalisme musikal (musical journalism).

Istilah jurnalisme musikal mungkin masih cukup asing saat ini. Adalah kelompok jurnalis yang berkolaborasi dengan musisi dengan nama Resonate Productions.

Kelompok inilah yang dapat dikatakan menginisiasi berkembangnya jurnalisme musikal yang mulai mewarnai dunia maya sejak lima tahun terakhir.

Kegiatan yang mereka lakukan kurang lebih merupakan perpanjangan dari pembuatan feature and documentary.

Dalam dunia produksi feature and documentary yang seringkali dimasukkan ke dalam salah satu karya jurnalisme, bentuk-bentuk narasi sastra telah terbiasa menjadi bagian untuk membuat informasi terasa lebih luwes dan personal bagi khalayaknya.

Hal ini sempat menjadikan feature and documentary menjadi karya kotemporer melawan kekakuan karya jurnalisme tradisional yang biasanya kering dan tanpa basa basi.

Ada dua paham tentang feature and documentary sebagai karya jurnalisme, khususnya yang berbentuk audio visual.

Paham pertama menyatakan, walaupun dibuat dengan luwes dan menggunakan bahasa percakapan, feature and documentary harus dibuat apa adanya.

Tidak boleh ditambah dengan suara-suara artifisial termasuk juga musik, karena hal tersebut dianggap mengurangi objektivitas karya jurnalisme tersebut.

Sementara paham kedua justru sebaliknya. Musik dijadikan bagian dari upaya membuat informasi menjadi lebih ringan sekaligus memiliki rasa yang membantu khalayak membayangkan kejadian yang sedang dilaporkan.

Tantanganya adalah tetap menjaga objektivitas dan faktualitas dalam informasi yang disampaikan, alih-alih berubah menjadi karya narasi yang penuh gimmick.

Paham kedua ini yang justru banyak dipakai dalam karya-karya documentary populer, baik secara audio maupun video. Sebut saja karya-karya documentary produksi National Geographic atau Animal Planet yang sangat khas.

Sementara documentary paham pertama dapat kita lihat di saluran BBC dan ABC yang menampilkan karyanya dengan sangat minim suara tambahan selain suara asli dari objek liputan.

Dapat diperkirakan bahwa jurnalisme musikal yang dibawakan oleh Resonate Productions merupakan karya yang mengikuti paham kedua.

Bahkan lebih dari itu. Jurnalisme musikal bukan saja menggunakan musik sebagai pelengkap karyanya, namun juga menjadikan musik sebagai bagian dari karya jurnalisme yang dipresentasikan.

Jurnalisme Musikal bukan Jurnalisme Musik

Melihat kondisinya yang telah berjalan sekitar lima tahunan, jurnalisme musikal sudah dapat dimasukkan jadi bagian dari sejarah perkembangan jenis presentasi karya jurnalisme.

Sejarah perkembangan jurnalisme memang telah dimulai sejak kebutuhan komunikasi muncul di tengah manusia, dan tidak pernah berhenti berubah hingga sekarang.

Dalam sejarahnya, jurnalisme telah berkembang dari "word of mouth" ke coretan di dinding. Kemudian perkembangan pengetahuan mengubahnya menjadi tulisan yang dipajang di depan publik di masa Romawi Kuno yang dikenal sebagai "Acta Diurna".

Lalu disusul era mesin cetak, radio, TV, sampai dengan internet yang membawa jurnalisme ke level yang lebih kompleks.

Hingga detik ini, jurnalisme terus berkembang dan masuk ke berbagai platform yang disukai publik, demi tersebarnya produk karya jurnalisme seluas mungkin.

Tidak lagi menjadi keanehan ketika kita dapat mengakses karya jurnalisme melalui medium interaktif yang tadinya dimaksudkan untuk berkomunikasi sosial, seperti Tiktok, IG Story, IG Reels, bahkan Spotify.

Perkembangan tersebut sejalan dengan peningkatan kebutuhan manusia akan informasi yang spesifik dan sesuai kebutuhan.

Maka lahirlah berbagai genre jurnalisme spesialisasi di dunia, seperti jurnalisme olahraga, jurnalisme ekonomi, jurnalisme kriminal, bahkan ada pula jurnalisme perang (yang tidak langsung berseberangan dengan istilah jurnalisme damai).

Sehubungan dengan musik, sejauh ini mungkin yang lebih populer adalah istilah jurnalisme musik (music journalism), hadir bersanding dengan jurnalisme spesialisasi lainnya.

Namun perlu diperhatikan: jurnalisme musikal bukanlah jurnalisme musik!

Jurnalisme musik lebih merujuk kepada kegiatan jurnalisme yang membahas masalah musik. Karya jurnalismenya lebih banyak dilihat sebagai bentuk dari kegiatan kritik budaya serta sebagai kemampuan sensorik untuk mendengar dan menjelaskan pengetahuan mengenai musik secara subjektif (Resmadi, 2018).

Sementara jurnalisme musikal adalah bentuk upaya alternatif jurnalis dalam mempresentasikan feature and documentary dengan cara memadukan karya jurnalisme investigasi atau jurnalisme sosial dengan musik orisinil.

Seperti yang diungkapkan kelompok Resonate Productions sebagai penggagasnya, kombinasi ini dengan tujuan membangun suasana emosional yang pada gilirannya akan menambah nilai terhadap konteks laporan yang disajikan (Resonate Productions, 2018).

Resonate Productions

Resonate Productions dibangun di Amsterdam (Belanda) oleh para jurnalis yang berkolaborasi dengan seniman musik. Berdasarkan observasi, kelompok ini berdiri tahun 2018, sesuai dengan waktu mereka bergabung di media sosial.

Dalam situsnya, Resonate Productions menjelaskan kegiatan mereka sebagai create performances, podcasts, films, and music-infused articles on emotional blind spots in society.

Yang dimaksud dengan emotional blind spots, menurut versi mereka, adalah perasaan sekaligus fenomena sosial yang sangat memengaruhi hidup orang banyak secara mendalam, tapi sulit untuk disampaikan dengan kata-kata.

Untuk itu, mereka berkarya untuk menyampaikan produk riset jurnalisme yang luas dari berbagai belahan dunia dengan menambahkan elemen musik orisinil, menciptakan rasa kuat, sehingga memungkinkan pendengarnya mengakses topik-topik jurnalisme tersebut di tingkat rasional, emosional, bahkan subliminal dalam satu waktu (Andrea Voets, direktur Resonate Productions).

Lalu seperti apa implementasi jurnalisme musikal ini?

Apabila melihat karya-karya yang dipresentasikan oleh Resonate Productions, pada praktiknya jurnalisme musikal sebenarnya dapat dilihat sebagai bentuk pengemasan dari karya jurnalisme konvensional.

Ini dapat dilihat dari material yang digunakan dalam karya musik mereka, yang berasal dari proyek investigasi atau riset jurnalisme.

Materi informasi yang mereka presentasikan sebenarnya merupakan hasil dari kegiatan jurnalisme biasa, bahkan diterbitkan di media cetak sebelum kemudian menjadi karya jurnalisme musikal.

Karya aslinya yang berupa teks feature atau artikel dapat diunduh di laman mereka dalam bentuk pdf.

Namun demikian, tidak semua karya jurnalisme konvensional dapat dijadikan karya musikal. Melihat dari contoh-contoh karya Resonate Productions, pilihan karya jurnalisme yang mereka tampilkan bukan hanya sekadar straight news atau feature biasa, melainkan artikel tentang fenomena di berbagai belahan dunia yang diliput secara mendalam.

Ini yang kemudian mendekatkan jurnalisme musikal yang mereka usung dengan karya feature and documentary.

Isu yang diambilnya kerap kontroversi yang melibatkan peraduan budaya, sejarah, dan politik. Isu semacam itu memang memerlukan pendalaman lebih dari sekadar membaca, karena terdapat banyak fenomena yang hanya dapat dirasakan secara emosional.

Hal itu dapat dilihat dan dirasakan pada karya-karya Resonate Producions yang telah dipertunjukkan dalam lima tahun terakhir ini.

Contohnya, seri Millenial History terdiri dari beberapa feature and documentary tentang kejadian dunia yang spesial dalam sejarah kehidupan generasi milenial.

Salah satunya adalah perbincangan tentang runtuhnya "Tembok Berlin", yang bagi mereka yang mengalaminya tentu mengandung kesan emosional mendalam.

Karya jurnalisme musikal dapat dilihat dalam berbagai bentuk presentasi musik. Pada kasus Resonate Productions, karya-karya mereka banyak dijadikan pertunjukan live di panggung-panggung kesenian, baik di Belanda maupun di negara-negara lain.

Dalam pertunjukan tersebut, para musisi tampil di panggung dengan berbagai instrumen musik, memainkan beberapa karya audio yang sesuai dengan suasana yang dibangun oleh artikel.

Artikel biasanya ditampilkan dalam bentuk video di latar belakang panggung.

Posisi Jurnalisme Musikal dalam Studi Kewartawanan

Melihat pertunjukan dan karya audio visual yang ada, jurnalisme musikal secara teoretis dapat dijelaskan sebagai implementasi dari fungsi musik sebagai pembangun nuansa/mood.

Seperti yang muncul dalam studi perfilman, musik merupakan salah satu elemen yang berperan dalam memperkuat mood, nuansa, serta suasana. Musik dapat merupakan bagian dari cerita (diegetic) dan dapat pula terpisah (non diegetic) (Pratista, 2017).

Pada kasus jurnalisme musikal, musik yang ada bahkan muncul menjadi keduanya, baik diegetic maupun non diegetic.

Dalam satu waktu, musik hadir sebagai pengiring atau backsound. Namun dalam satu kesempatan, musik yang ada justru menjadi unsur utama dalam karya jurnalisme yang dipresentasikan.

Dari pengalaman mengamati praktik jurnalisme musikal oleh kelompok Resonate Productions, didapat kesimpulan bahwa inti jurnalisme musikal adalah membangun pengertian publik yang lebih luas dan intrinsik terhadap informasi yang mereka dapatkan.

Bukan hanya fakta empiris, namun juga mendapatkan hal-hal di luar yang terlihat, pada akhirnya memberikan kesan lebih dalam terhadap pengetahuan yang diserap oleh otak mereka.

Simpulan tersebut melahirkan setidaknya dua pertanyaan kritis. Pertama, sejauh mana prinsip objektivitas jurnalisme terpelihara dalam karya jurnalisme musikal?

Sementara dalam studi kewartawanan konvensional, objektivitas adalah kunci utama dalam karya jurnalisme.

Pertanyaan ini muncul karena perdebatan yang ada tentang fungsi musik dalam karya jurnalisme. Saat musik hadir, ia akan memengaruhi perasaan khalayak sebuah karya jurnalisme yang memungkinkan timbulnya pengertian lebih luas tentang konteks informasi di dalamnya.

Di satu pihak, hal tersebut menilai positif karena memberi "kedalaman" pada karya jurnalisme tersebut.

Di pihak lain, karya tersebut menjadi tidak objektif karena produsernya tentu menggunakan seleranya sendiri dalam membangun nuansa.

Sementara persepsi setiap orang pada dasarnya tidak pernah sama. Ada kemungkinkan kesan yang dimaksud secara subjektif oleh produser karya tersebut diterima berbeda oleh khalayak yang mengaksesnya.

Pertanyaan kedua, sejauh mana jurnalisme musikal dapat masuk menjadi genre baru jurnalisme kontemporer?

Apakah ini benar-benar karya jurnalisme, ataukah hanya sekadar bentuk pengemasan baru yang menjadi bagian dari pertunjukkan seni?

Kedua pertanyaan ini menjadi bagian dari perkembangan jurnalisme musikal di dunia kewartawanan ini. Studi lebih lanjut secara akademis tentunya akan menemukan jawabanya.

Namun demikian, waktu jugalah yang akan membawan jurnalisme musikal membuktikan diri apakah ia akan berkembang menjadi wadah kontemporer yang dapat diandalkan dalam melestarikan prinsip-prinsip jurnalisme, ataukah hanya menjadi salah satu genre dalam dunia seni pertunjukan musikal.

Mari bersama kita amati, dan jangan lupa untuk menikmatinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com