Jika setelah peristiwa penyerangan gedung WTC di New York, AS, pada 2001 terjadilah wacana dunia perang terhadap radikalisme. Indonesia juga menjadi tempat perebutan wacana itu. Indonesia menjadi korban sekaligus medan peperangan.
Konservatisme dan radikalisme menjadi topik. Kekhawatiran menguatnya teologi dan ideologi hitam putih dirasakan dunia.
Negara-negara Muslim terutama menjadi pertaruhan. Pemerintah Barat dan Timur gusar bahwa otoritas pemerintah akan terancam oleh paham radikalisme.
Masyarakat Muslim dikhawatirkan akan tertarik dengan ideologi antikemapanan dengan jalan kekerasan.
Betul juga bahwa serangan-serangan terorisme terjadi di mana-mana. Itu nyata.
Namun, banyak pengamat, dari ilmu sosiologi, antropologi, atau ilmu politik, mengatakan bahwa sikap radikal dan hitam putih itu bukan Indonesia.
Indonesia itu cair. Indonesia terdiri dari banyak lapisan dan rumit. Indonesia tidak sederhana. Sulit ditebak.
Negeri ini mempunyai kekuatan tersendiri untuk menangkis radikalisme. Negeri ini sudah lama moderat, tanpa disadari sesungguhnya, walaupun belum terkonsep seperti program moderasi beragama saat ini.
Lapisan-lapisan sejarah Indonesia menjadikan masyarakat kita cair, mudah berubah, dan mungkin sulit ditebak.
Para pionir kemerdekaan bangsa selalu bertanya, kenapa negeri ini bertahan dalam penjajahan tiga abad lebih? Apakah tidak ada kekuatan yang memberontak dan menyatukan semuanya?
Selemah itukah orang-orang di negeri ini bertahan dijajah tiga ratus tahun? Tidakkah kita melawan? Atau sekuat itu bangsa ini mengalami penderitaan?
Perubahan demi perubahan sudah biasa di negeri ini. Soal iman dan agama, sudah konversi berkali-kali.
Para raja itu rata-rata Hindu, dari Mataram, Kahuripan, Kediri, Daha, Singasari, sampai Majapahit, tetapi mereka mengangkat para penasihat Buddha.
Setelah itu para pedagang dari Arab, India, China, dan Turki datang ke negeri ini dengan iman baru.
Para penguasa menggunakannya sebagai legitimasi untuk mendirikan kesultanan-kesultanan di sepanjang pesisir Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Terjadi konversi iman pelan-pelan, tetapi masih mempertahankan tradisi lama Hindu dan Buddha.
Selanjutnya Eropa datang, mereka berbisnis dan akhirnya menancapkan kekuasaan politik. Anehnya, para penguasa lokal beradaptasi dan berkolaborasi. Perlawanan tidak seberapa.