Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Prof. Dr. phil. Al Makin, S.Ag. MA, kelahiran Bojonegoro Jawa Timur 1972 adalah Profesor UIN Sunan Kalijaga. Penulis dikenal sebagai ilmuwan serta pakar di bidang filsafat, sejarah Islam awal, sosiologi masyarakat Muslim, keragaman, multikulturalisme, studi minoritas, agama-agama asli Indonesia, dialog antar iman, dan studi Gerakan Keagamaan Baru. Saat ini tercatat sebagai Ketua Editor Jurnal Internasional Al-Jami’ah, salah satu pendiri portal jurnal Kementrian Agama Moraref, dan ketua LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) UIN Sunan Kalijaga periode 2016-2020. Makin juga tercatat sebagai anggota ALMI (Asosiasi Ilmuwan Muda Indonesia) sejak 2017. Selengkapnya di https://id.m.wikipedia.org/wiki/Al_Makin.

Bukan Harga Mati Bisma, Bukan Mahabarata

Kompas.com - 26/11/2023, 14:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KISAH Mahabarata memang asyik, sehingga ditulis dan dipentaskan beribu kali. Dari zaman Mataram kuno abad delapan hingga zaman Reformasi era digital 4.0 abad dua satu.

Epik Mahabarata memang realistis, tidak hitam putih, tidak fanatik dan tidak radikal. Kisah itu moderat, multi-tafsir, dan penuh kejutan. Apalagi jika kisah India itu dibaca ulang di Nusantara, kaya akan variasi.

Kurawa dan Pandawa dalam Mahabarata tidaklah perseteruan antara jahat dan baik semata. Di koalisi besar seratus bersaudara bergabung pula orang-orang berintegritas tinggi seperti Bisma.

Begawan yang selibat (tidak kawin), satria pemberani, dan loyal pada anak asuhnya, Kurawa. Begawan yang kondang di mata banyak orang dan panutan.

Durna juga seorang guru terhormat, mengajar ilmu linuwih dan kanuragan baik pada Kurawa ataupun Pandawa.

Bima, orang paling terus terang (bloko suto) di Pandawa, sangat hormat pada sang pandita. Arjuna diajari memanah lihai oleh Durna. Namun hati Durna selalu miring ke Kurawa, walaupun sang guru kagum pada kepandaian Pandawa.

Adipati Karna, yang sama rupawan dan lincahnya dengan Arjuna, bahkan sama-sama putra Kunti, memihak Kurawa.

Sang Adipati sakit hati atas perlakuan Pandawa terhadap dirinya. Ia merasa dilecehkan dan dianggap tidak selevel dengan saudara-saudara seibunya yang lima.

Sementara itu, Arjuna meminta Durna untuk memotong ibu jari Karna agar olah busur jemparingnya tidak tepat sasaran. Arjuna tentu di atas angin atas taktiknya ini.

Karna lahir dari Kunti dengan ayah dewa Surya, sebelum menikah dengan Pandu. Maka, kecilnya ia, seperti Nabi Musa dalam Perjanjian Lama, dibuang di sungai dan di pungut orang Salya.

Perseteruan Pandawa dan Kurawa puncaknya pada pecahnya perang Baratayuda. Perang itu bukanlah antara musuh dari jauh yang tega-tegaan, tetapi antarsaudara dan sepupu.

Krisna, jelmaan Wisnu, sering memberi nasihat pada Arjuna. Laksanakan tugas sebagai dharma dan bhakti, sebagai amal dan ibadah.

Pasrahkan nasib setelah berusaha, tugas manusia hanya berikhtiar. Alam penuh dengan misteri dan teka-teki, tak semua sederhana dan mudah dipahami.

Baratayuda juga membingungkan. Namun, Kurawa tetaplah konspirasi orang-orang yang tamak, melebihi batas, dan melanggar hukum.

Sisi lain, Pandawa lima juga tidak lah sempurna kebaikannya. Kisah kompetisi Karna dan Arjuna buktinya.

Mahabarata mengajarkan sikap realistis, menerima kerumitan hidup, dan sesuai dengan alam ribuan pulau ini yang beraneka rupa. Penuh dengan ketidakjelasan, percampuran, percobaan, dan penggabungan yang tidak mungkin.

Yang dekat jadi jauh, yang jauh mendekat. Tidak ada yang abadi, baik teman maupun saingan. Semua dinamis dan sementara.

Kerajaan-kerajaan silih berganti dari Majapahit, Demak, Pajang, Mataram semua mengajarkan ketidakteraturan alam sosial dan tatanan kuasa. Mungkin Mahabarata filsafatnya di situ, kenapa terus dipentaskan segala zaman.

Mahabarata artinya India (Barat) yang agung (maha). Mahabarata bukan Nusantara, ataupun Dipantara, Suwarna Dwipa, Negeri Jawi, atau Indonesia.

Kisah Mahabarata hanya sindiran belaka. Nusantara jauh lebih kompleks, lebih zigzag, dan lebih tidak tertebak.

Di negeri Jerman, nasionalis dan sosialis digabungkan, jadilah Nazi. Di Nusantara, ditambah agama.

Konsep yang muncul pertama adalah sinkretisme cinta tanah air, kemasyarakatan, dan keagamaan. Kompromi dengan mengambil yang baik dan cocok dari segala penjuru mata angin.

Bahkan di akhir era revolusi ditandai penggabungan macam-macam ideologi yang tidak mungkin: agama, sosialis, nasionalis, bahkan Marxist.

Era Orde Baru adalah penggabungan dengan cara lain, pembangunan dengan bahasa agama, keprajuritan, kekeluargaan ala filsafat Kongfusionisme, dan mengembangkan sekularisasi versi baru. Itu terjadi di Maha-Nusantara, tidak di Mahabarata.

Menyatukan yang berbeda itu tidak asing sebetulnya, dalam banyak naskah seperti Kakawin, Hikayat, Babad sudah ditemui gabungan antar puja, sembahyang, dan kuil.

Hindu dan Buddha saling bertalian. Di India, puja Syiwa, Wisnu dan Brahma sendiri-sendiri lokasi dan ibadahnya.

Prambanan merupakan bukti nyata ketiganya berkumpul. Bahkan candi Buddha juga ada dalam kompleks yang sama.

Mahabarata sudah menunjukkan tokoh dan karakter yang tidak hitam putih. Satu kelompok tidak lah jahat semua. Kelompok lain tidak sempurna kebaikan dan akhlaknya.

Bahkan di Nusantara, banyak ilmu mengubah rupa, membo-warno. Ilmu menghilang, dan muncul dalam bentuk lain. Maha-Nusantara lebih dinamis dari Maha-Barata.

Di Maha-Nusantara, Bima bisa berubah menjadi Dursasana. Arjuna tumbuh jadi Durna. Yudhistira bermetaforfosa menjadi Sengkuni. Burisrawa menjadi Nakula.

Cakil menjadi Gatotkaca. Durna mengambil bentuk Krisna. Sebagaimana Petruk, Gareng, Bagong menjadi raja, hulubalang, patih, bahkan narindra raja.

Bagi Bisma di Mahabarata, negeri Astinapura adalah harga mati, dia pun rela gugur terpanah busur Srikandi.

Di versi Maha-Nusantara, tidak ada yang harga mati. Semua ada jalan berubah warna dan bentuk atau metamorfosa. Plot, karakter, dan kisah tidak pasti.

Astinapura tafsir Nusantara tidak lah harga mati, karena bukan kisah Mahabarata asli India. Bukan Kurawa dan bukan Pandawa. Bukan perang Baratayuda juga. Hanya metamorfosa masing-masing dengan cara unik. Tapi tetap moderat, ingat.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com