Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teungku Chik di Tiro: Kehidupan, Perjuangan, dan Akhir Hidup

Kompas.com - 28/05/2021, 19:07 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Nibras Nada Nailufar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Teungku Chik di Tiro atau yang bernama asli Muhammad Saman adalah seorang pejuang gerilya yang berasal dari Aceh.

Ia menjadi tokoh yang rela mengorbankan harta benda, kedudukan, serta nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa.

Keyakinannya ini kemudian dibuktikan di kehidupan nyata melalui Perang Aceh, pada 1881. Chik di Tiro berhasil merebut wilayah-wilayah yang selama ini sudah diduduki oleh Belanda. 

Baca juga: Martha Christina Tiahahu: Kehidupan, Perjuangan, dan Akhir Hidup

Kehidupan

Teungku Muhammad Saman atau Chik di Tiro lahir di Tiro, Aceh, pada 1 Januari 1836.

Ia merupakan putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah. 

Muhammad Saman besar dan tumbuh dalam keluarga yang religius. Sampai ia berusia 15 tahun, Saman banyak belajar bersama sang ayah. 

Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya bersama sang paman, Teungku Chik Dayah Tjut di Tiro.

Setelah belajar dari beberapa guru, Chik di Tiro berpindah ke Aceh Besar dan menghabiskan waktunya selama dua tahun di sana.

Pada siang hari, di Tiro akan belajar mengenai Islam, sedangkan di malam hari ia bergabung bersama teman-temannya berjuang melawan kolonial Belanda.

Suatu waktu, di Tiro kembali ke rumahnya. Ia mulai mengajar bersama pamannya.

Setelah beberapa tahun menjadi guru, di Tiro menunaikan ibadah haji di Mekah. Di sana ia memperdalam ilmu agamanya.

Tidak lupa, Saman juga menjumpai para pimpinan Islam di sana sehingga ia mengetahui perjuangan para pemimpin dalam melawan imperialisme dan kolonialisme.

Sesuai dengan ajaran agama yang ia yakini, Saman rela berkorban harta benda, kedudukan, bahkan nyawanya demi menegakkan agama dan bangsa.

Baca juga: Supeno: Kehidupan, Karier Politik, dan Akhir Hidup

Peperangan

Suatu hari, pada 1880, setelah di Tiro kembali ke kota asalnya, terdapat sebuah kelompok pejuang gerilya datang dan mencari seorang ulama untuk memimpin peperangan.

Chik di Tiro pun menawarkan dirinya dan bergabung bersama pasukan gerilya yang bermarkas di Gunung Miram. 

Ia pun memulai perjalanannya menelusuri Aceh.

Setiap kali ia berhenti di suatu kota, di Tiro akan menyampaikan ceramahnya di masjid tentang perang suci.

Pada waktu yang sama, di Tiro juga mengirim surat kepada ulama lain untuk memanggil mereka agar turut berperang mengusir Belanda dari Aceh pada 1883.

Chik di Tiro dan para ulama lainnya berhasil mengumpulkan 6000 tentara untuk berperang melawan Belanda serta mendapat dukungan dari Sultan Aceh.

Pada Mei 1881, di Tiro dan pasukannya berhasil merebut Benteng Belanda di Indrapuri yang memicu Perang Aceh. 

Sebagai balasan, Belanda memperkuat benteng mereka di Lambaro, Aneuk Galong, dan Samahani.

Selama tahun 1882 sampai 1883, Belanda dan Aceh terus bertempur. 

Pada awal 1883, pasukan di Tiro menyerang benteng Belanda di Kutaraja (Banda Aceh), namun gagal.

Kendati demikian, mereka berhasil membunuh penguasa Belanda. 

Pada puncak peperangan, daerah kekuasaan Belanda di Aceh mulai berkurang, yang tadinya menguasai hampir seluruh Aceh menjadi hanya 4 kilometer persegi tanahnya saja.

Pada 1885, di Tiro mulai merasa bahwa Belanda sudah siap untuk menyerah.

Untuk itu, ia mengirimkan ultimatum kepada Asisten Residen van Langen menawarkan perdamaian jika Belanda bersedia masuk Islam.

Beberapa orang Belanda pun menyatakan bersedia, tetapi rupanya mereka diketahui sebagai mata-mata. 

Pada 1888, di Tiro kembali mengirimkan surat kepada Belanda, tetapi tidak mendapat tanggapan.

Baca juga: WR Supratman: Kehidupan, Karya, dan Akhir Hidupnya

Akhir Hidup

Selama beberapa tahun, di Tiro masih memimpin pasukannya untuk melawan Belanda.

Chik di Tiro tidak akan menyerah sampai semua orang Belanda terbunuh.

Untuk menyiasati hal ini, pada 21 Januari 1891, di Tiro dihidangkan makanan beracun oleh putra pemimpin Sagi.

Ia ditawari oleh Belanda untuk menjadi pemimpin jika bersedia membunuh di Tiro.

Setelah di Tiro memakannya, ia pun dibawa ke Benteng Aneuk Galong untuk dirawat. Namun, nyawanya tidak tertolong. 

Ia dimakamkan di kuburan keluarga di Meureu, Aceh Besar.

Atas jasanya, pada 6 November 1973, melalui Surat Keppres No. 987/TK/1973, Presiden Soeharto memberinya gelar Pahlawan Nasional Indonesia.

Beberapa nama jalan juga menggunakan namanya. 

Referensi: 

  • Kamajaya. (1981). Lima Putera-Puteri Aceh Pahlawan Nasional. Yogyakarta: U.P. Indonesia.
 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com