Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ramadhan: Antara Syiar yang Ramai atau Khusuk yang Hening

Manusia beragama membutuhkan kesendirian juga, namun dalam sejarahnya, agama tidak bisa lepas dari unsur ramainya.

Selalu ada dua hal yang berbeda dalam agama. Agama mengandung unsur syiar untuk promosi nilai-nilai dalam gegap gempitanya aktivitas manusia, satu sisi.

Di sisi lain, agama adalah obat penenang individu-individu untuk menghindari keramaian, mencari kedamaian, dan keheningan.

Di manakah puasa Ramadhan berada?

Ramadhan memang berlimpah dengan kegiatan sosial dan ekonomi. Di masjid dan tempat-tempat umum, seperti sekolah, pasar, mal, dan kantor mensyiarkan kegiatan sosial dan ekonomi. Semua terpaut gerak puasa Ramadhan.

Ekonomi juga melenggang sesuai dengan jam buka dan sahur, serta penyambutan Idul Fitri.

Jualan kolak pisang untuk buka di pinggir jalan laku. Pakaian khusuk laris manis selama Ramadhan: gamis, mukenah, sajadah, atau kopiah.

Tarawih dan buka bersama juga melibatkan kerumunan manusia. Namun puasa juga harus dimaknai sebagi tempat kesepian, zikir, berdoa menyendiri, dan hening.

Agama memang menyangkut ramainya kehidupan manusia. Semua unsur ramai dan sepi ada dalam agama.

Agama selalu menyertai tumbuh dan berkembangnya budaya dan peradaban manusia. Agama menjadi legitimiasi negara, masyarakat, dan bangsa.

Dengan mengikat diri pada agama atau tanpa agama, masyarakat tumbuh, maju, atau runtuh. Masyarakat model lama, sebelum era bangsa modern pasca-Perang Dunia Dua, kerajaan-kerajaan terang-terangan menggunakan label agama.

Namun, di masyarakat yang lebih maju peran agama bersifat lebih netral. Agama menjadi peredam keramaian untuk kembali ke spiritual individu masing-masing.

Negara-negara Eropa dari abad Pencerahan hingga kini bahkan terjadi gerakan anti-agama. Warga negara banyak yang memilih untuk tidak berafiliasi pada agama. Bukan berarti mereka tidak spiritualis, atau meninggalkan nilai-nilai agama.

Agama sebagai nilai, moral, etika, dan norma perilaku bisa berlaku dalam budaya, tetapi ikatan institusi agama bisa lepas dari individu ataupun masyarakat. Agama menjadi sepi, menjauhi keramain politik, sosial dan ekonomi.

Memang, agama tidak bisa lepas faktanya dari unsur hiruk pikuk manusia. Agama selalu hadir, apalagi sejarah awal mula agama lahir.

Agama selalu dikaitkan dengan perubahan sosial dan politik. Kristiani selalu dikaitkan dengan kekaisaran Romawi Barat dan Romawi Timur. Naik turunnya Romawi Timur sangat Erat dengan agama Kristiani, Gereja Timur ataupun Gereja Barat.

Enam ratus tahun kemudian, setelah Kristiani berkembang, Islam lahir, yang juga menandakan tumbuhnya kekuatan politik baru, emperium Umayyah dan Abbasiyah.

Buddhisme menyebar ke wilayah Asia hingga Asia Tenggara juga berkaitan dengan kekuatan emperium Maurya mulai abad 4 SM sampai abad 2 M. Dari situlah syiar Buddhisme menyebar dan membentuk banyak kekuatan politik dan budaya.

Mulai abad 4 M, Indonesia ditempati emperium Buddhis Sriwijaya yang menghubungkan wilayah Nusantara dengan benua Asia secara umum, terutama India dan China.

Sementara itu, Hindu juga berperan dalam membangun kekuatan politik di Nusantara, dari Mataram, Kahuripan, hingga Majapahit.

Di sana berkembang aliran Syiwaisme, Wisnuisme, atau Syiwa-Buddha. Di Bali dari Karangasem sampai Menghwi menopang kekuatan politik Hindu.

Agama selalu dalam keramaian, di situ manusia menjadi kreatif. Agama masing-masing mempunyai syiar.

Dulu, konversi ke masing-masing agama ditopang dengan kekuatan politik, sosial, dan ekonomi.

Perkembangan agama disertai impor-ekspor gandung, roti, padi, rempah-rempah, kuda, kereta, bangunan, kapal dan senjata. Agama memang berkembang dan menyebar dalam ramai.

Tetapi unsur sepi agama ini perlu mendapat perhatian, karena di era kini keramaian dalam arti politik tidak lagi relevan. Keramaian ekonomi dan sosial masih mungkin.

Jumlah manusia sudah sedemikian banyak, bumi ini dihuni 8,1 miliar penduduk. Sekitar 2,1 miliar memeluk Kristiani, baik Katolik maupun Protestan; 1,5 miliar adalah Muslim; 1,1 miliar ternyata tidak berafiliasi ke agama, bisa agnostik atau atheis; I miliar Hindu; 400 juta Buddhis; 400 juta agama lokal masing-masing.

Dunia sudah ramai. Era syiar politik agama-agama idealnya sudah usai. Hak-hak agama melekat pada individu atau masyarakat, bukan negara, terutama dalam dasar kita Pancasila.

Negara mengayomi, warga bekerja dan beribadah dengan nyaman. Saatnya unsur hening, sepi, dan kesendirian dalam agama dilakoni. Saatnya mengutamakan ruang pada diri sendiri dan orang-orang sekitar, agama apapun.

Puasa Ramadhan bisa menjadi jalan keluar dari kebisingan manusia dari tekanan sosial, ekonomi, dan politik tadi.

Bijak sebetulnya aturan tentang pengeras suara dari Kementrian Agama RI untuk meredam benturan sosial, dan menghargai bagi mereka yang beragama, baik dengan cara Islam atau cara yang berbeda untuk menyendiri dan menyepi.

Bukankah puasa juga berarti menahan diri dan merenung? Saat ini, kesepian dan keheningan dalam beribadah mungkin rahmatnya agama bagi semesta.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/03/17/125443179/ramadhan-antara-syiar-yang-ramai-atau-khusuk-yang-hening

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke