Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Marhaenisme: Ideologi yang Terbentuk Ketika Soekarno Bersepeda

Konsep ini muncul sebagai respons terhadap penindasan kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme pada zamannya.

Untuk memahami lebih dalam, mari kita telaah sejarah dan konsep utama ajaran Marhaenisme.

Sejarah awal Marhaenisme

Marhaenisme, sebagai landasan pergerakan Bung Karno, tidak muncul begitu saja.

Sebaliknya, ia berakar pada pemikiran Soekarno sejak usia 20 tahun.

Awal mula inspirasi Marhaenisme terjadi ketika Soekarno. masih menjadi seorang mahasiswa di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB). Kala itu, Soekarno sedang berjalan-jalan di pinggiran kota Bandung.

Dalam buku "Biografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" karya Cindy Adams, dijelaskan bahwa Soekarno bertemu dengan seorang petani bernama Marhaen. 

Meski memiliki tanah dan alat produksi sendiri, Marhaen dan rakyat kecil lainnya masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Pandangan Soekarno terhadap para pekerja kecil yang menjadi majikan sendiri, seperti kusir gerobak, nelayan, dan petani, menjadi inspirasi awal terhadap ideologi ini.

Mereka memiliki alat produksi sendiri dan tidak terikat pada siapa pun.

Marhaen, dalam pandangan Bung Karno, mencakup bagian terbanyak dari rakyat Indonesia.

Pertanyaan mengenai identitas sejati mereka telah memicu Soekarno untuk merenung dan mencari jawaban.

Namun, pada akhirnya, solusi terhadap pertanyaan tersebut tidak ditemukan melalui analisis ilmiah atau diskusi dengan rekan-rekan aktivisnya.

Sebaliknya, jawaban atas pertanyaan tersebut justru ditemukan oleh Soekarno ketika ia memutuskan untuk tidak mengikuti kuliah dan malah bersepeda tanpa tujuan di sekitar Bandung.

Setelah mengayuh pedal selama beberapa waktu, ia mencapai sebuah persawahan di selatan Bandung.

Di bagian Selatan Kota Bandung, ia berhenti bersepeda dan perhatiannya tertuju pada seorang petani yang mengenakan baju lusuh dan sedang mencangkul sendirian di lahan sawahnya.

Setelah mengamati petani tersebut sejenak, Soekarno memutuskan untuk berbicara dengannya.

"Siapa yang memiliki tanah yang sedang kamu garap ini?" tanya Soekarno dalam bahasa Sunda.

"Saya, Pak," jawab petani tersebut.

"Apakah kamu memiliki tanah ini bersama orang lain?" tanya Soekarno lagi.

"Oh, tidak, Pak. Saya memiliki tanah ini sendiri."

Soekarno melanjutkan, "Apakah kamu membeli tanah ini?"

Petani itu menjawab, "Tidak. Tanah ini diwariskan dari orang tua ke anaknya".

Keadaan persis seperti yang diimpikan Soekarno selama ini, yaitu seorang pekerja kecil yang memiliki alat produksi sendiri.

Tidak hanya memiliki lahan kecil, petani tersebut juga memiliki cangkul dan bajak sendiri untuk mengolahnya.

Semua itu adalah upaya maksimal yang dimilikinya untuk mencukupi kebutuhan hidup bagi istri dan empat anaknya yang tinggal di rumah sederhana.

Soekarno pun kembali menanyakan apakah itu semua cukup untuk menyokong keperluan hidup petani tersebut.

"Bagaimana mungkin lahan yang begitu terbatas bisa memenuhi kebutuhan istri dan empat anak?" balas petani tersebut dengan nada kecewa.

Demikianlah, percakapan tersebut berakhir. Sebelum pergi, Soekarno sempat menanyakan nama petani itu.

Dengan singkat, petani itu menjawab, "Marhaen".

Wawancara dengan Marhaen kemudian membuka mata Soekarno terhadap sistem penindasan kolonial Belanda. Petani yang seharusnya dapat berkembang malah terbatas oleh sistem yang tidak adil.

Soekarno pun menyimpulkan, "Pada saat itu, cahaya ilham menyala di benakku. Aku akan menggunakan nama ini untuk menyebut semua orang Indonesia yang mengalami kesulitan seperti dia! Sejak saat itu, aku menyebut rakyatku dengan sebutan Marhaen".

Sisa hari itu, Soekarno habiskan dengan bersepeda mengelilingi Bandung.

Di sepanjang perjalanan, ia terus merenung sambil merangkai pemikiran yang selama ini tersumbat di kepalanya.

Nama "Marhaen" kemudian diangkat oleh Soekarno sebagai simbol perjuangan rakyat kecil yang ditindas oleh sistem kolonial.

Konsep Marhaenisme

Marhaenisme, sebagai bentuk sosialisme yang diterapkan di Indonesia, lahir dari gagasan yang bersumber langsung dari kehidupan rakyat kecil.

Dalam Kongres Partindo tahun 1933, Soekarno menyampaikan konsep Marhaenisme melalui beberapa butir keputusan dengan tujuan menggambarkan pandangannya terhadap ideologi tersebut.

Berikut adalah penjelasannya:

  • Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi

Soekarno mengusung konsep Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi sebagai fondasi Marhaenisme.

Sosio-Nasionalisme menekankan persatuan bangsa untuk melawan penindasan, sedangkan Sosio-Demokrasi menyoroti pentingnya demokrasi dalam mencapai keadilan sosial.

  • Marhaen

Istilah "Marhaen" dipilih oleh Soekarno untuk mencakup kaum proletar Indonesia, terutama petani yang hidup dalam kondisi melarat. Marhaen dianggap sebagai simbol perjuangan melawan ketidakadilan ekonomi.

  • Marhaenis

Marhaenis merujuk pada setiap individu yang mengikuti ajaran Marhaenisme. Ini mencerminkan konsep bahwa Marhaenisme bukan hanya ideologi, tetapi juga gerakan yang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat.

  • Kaum Marhaeni

Soekarno menekankan pentingnya kerjasama antara Marhaen dan kaum Marhaeni sebagai satu kesatuan perjuangan.

Kaum Marhaeni, khususnya perempuan, diidentifikasi sebagai rakyat kecil yang ditindas oleh sistem. Kesatuan ini dipandang sebagai langkah krusial dalam mengatasi ketidakadilan sosial.

Jadi, dari sudut pandang Soekarno, konsep Marhaenisme adalah sebuah ideologi yang menggabungkan semangat kebangsaan, demokrasi, perjuangan kaum proletar, dan peran penting wanita dalam mencapai keadilan sosial di Indonesia.

Konsep ini tidak hanya merupakan kerangka pemikiran teoritis, tetapi juga merupakan pandangan praktis yang diharapkan dapat membawa perubahan nyata dalam masyarakat Indonesia pada masa itu.

Referensi:

  • Adams, C. (2018). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Bung Karno dan Penerbit Media Pressindo.

https://www.kompas.com/stori/read/2024/01/05/170000779/marhaenisme--ideologi-yang-terbentuk-ketika-soekarno-bersepeda

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke