Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kazuo Odachi, Kamikaze yang Selamat Karena Menunggu Giliran

Kamikaze adalah pilot Jepang yang dalam Perang Dunia II bersedia mati bersama pesawat terbang yang mereka tumpangi dengan menumbukkannya pada sasaran.

Serangan kamikaze menjadi taktik bom bunuh diri Jepang yang dirancang untuk menghancurkan kapal perang musuh.

Jepang melakukan kamikaze karena posisinya terdesak setelah mengalami serangkaian kekalahan, dan khawatir pasukan Sekutu akan menyerang negerinya.

Lebih dari 3.800 pilot kamikaze tewas dalam misi bunuh diri demi tradisi kehormatan prajurit Jepang ini. Di pihak Sekutu, sekitar 7.000 tentara menjadi korban kamikaze.

Kazuo Odachi merupakan satu dari beberapa pilot kamikaze yang selamat karena perang telah usai ketika ia menunggu giliran untuk ditugaskan.

Kisah Kazuo Odachi menunggu giliran

Pada 2020, Kazuo Odachi, yang telah menginjak usia 93 tahun, membagikan kisahnya sebagai kamikaze kepada New York Times.

Sebelumnya, pada 2016, Odachi juga menulis buku bertajuk Memoirs of a Kamikaze.

Odachi mendaftar di angkatan bersenjata Jepang pada 1943 dan bergabung dengan Yokaren, kelompok elite remaja yang dilatih sebagai pilot Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.

Sejak kecil, Odachi memang menyukai pesawat dan ketika Perang Dunia II dimulai, ia berharap bisa menjadi pilot.

Memasuki 1944, Jepang semakin sering menderita kekalahan dari pasukan Sekutu. Dari situlah, muncul gagasan untuk melawan Sekutu dengan menggunakan kamikaze.

Odachi menjadi pilot Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di usia sangat muda, yakni 16 tahun.

Menurut pengakuan Odachi, Yokaren berbeda dari unit kamikaze lainnya.

Para pemuda di unit ini telah dipersiapkan untuk mati dalam pertempuran udara, bahkan sebelum operasi kamikaze dicetuskan.

Bahkan kancing seragam mereka diberi hiasan timbul bunga, sebagai pengingat akan kematian yang segera terjadi dalam pertempuran.

Pada Agustus 1944, Odachi ditugaskan ke wilayah pendudukan Jepang di Taiwan. Saat itu, operasi kamikaze belum dilancarkan.

Namun, dalam pertempuran udara, para pilot sudah diinstruksikan untuk mengincar musuh dengan baling-baling pesawat mereka.

Hal itu jelas tindakan bunuh diri, tetapi setidaknya musuh akan dibawa mati bersama mereka.

Odachi dan rekan-rekannya semakin tercengang ketika atasan mereka menjelaskan terkait operasi kamikaze dan meminta adanya sukarelawan.

"Kami pada dasarnya dibujuk untuk melakukan bunuh diri," kata Odachi dalam wawancaranya bersama The New York Times sebagaimana dikutip Kompas.com, Minggu (31/12/2023).

Saat itu, kemenangan Sekutu semakin tidak terelakkan, yang memaksa Jepang untuk bertarung hingga titik darah penghabisan, yakni dengan kamikaze.

Odachi secara suka rela mengajukan diri untuk terjun dalam perang yang ia yakini tidak akan dimenangkan negaranya.

Ia rela mati demi melindungi orang-orang terkasih, meski nyawanya sendiri yang menjadi taruhannya.

Odachi menjadi salah satu orang yang menyaksikan jalannya operasi bunuh diri kamikaze untuk pertama kalinya, yakni pada 25 Oktober 1944, dalam Pertempuran Teluk Leyte.

Setelah Pertempuran Teluk Leyte, di mana Jepang lagi-lagi menderita kekalahan, Odachi dan rekan-rekannya melarikan diri ke Taiwan.

Pada 4 April 1945, ia diperintahkan untuk menjalankan misi kamikaze pertamanya.

Pesawat tempur Odachi telah dilengkapi bom seberat 500 kilogram, untuk dihantamkan ke kapal musuh bersama tubuhnya.

Ketika pesawatnya terdeteksi pasukan Sekutu, Odachi menjatuhkan bomnya di laut, kemudian melarikan diri.

Setelah itu, Odachi diberangkatkan kembali, tetapi gagal menemukan targetnya. Enam misi Odachi berikutnya juga berakhir dengan kegagalan.

Kendati demikian, Odachi belum lepas tugas dan harus siap apabila diperintahkan untuk menjalankan misinya, kapan saja.

Setiap malam, para petugas mengumumkan siapa saja yang akan terbang ke medan perang keesokan harinya.

"Rasanya seperti pemberian hukuman mati, dan itu membuat perut mual," ungkap Odachi.

Lambat laun, penantian membuat Odachi dan rekan-rekannya menjadi acuh tak acuh terhadap hidup dan mati.

Satu-satunya yang dipikirkan adalah bagaimana memanfaatkan momen terakhir mereka. Namun, momen terakhir itu ternyata tidak pernah tiba.

Ketika Odachi akhirnya ditugaskan kembali dan pesawatnya siap lepas landas, ia tiba-tiba diminta untuk berhenti. Ternyata Jepang telah menyatakan menyerah kepada Sekutu.

Melalui memoarnya yang dirilis pada 2016, Odachi berharap masyarakat dapat mengenang kamikaze sebagai korban, sebagai pemuda yang keberanian dan patriotismenya dieksploitasi negara.

"Saya tidak ingin siapa pun melupakan bahwa negara indah Jepang saat ini dibangun di atas dasar kematian mereka,” kata Odachi.

Pasalnya, kamikaze kerap dipandang sebagai orang-orang yang tidak menghargai nyawa mereka sendiri.

"Kami seumuran dengan siswa sekolah menengah dan mahasiswa baru saat ini. Tidak ada satu orang pun di antara kami yang memutuskan untuk mati sendiri,” pungkasnya.

Kendati demikian, Odachi mengaku tidak menyesali keputusannya untuk bergabung dengan angkatan perang Jepang.

Untuk mengenang rekan-rekannya yang tidak ditakdirkan untuk berumur panjang, Odachi kerap mengunjungi Kuil Yasukuni, tempat para prajurit Jepang yang gugur dari generasi ke generasi diabadikan.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/12/31/110000179/kazuo-odachi-kamikaze-yang-selamat-karena-menunggu-giliran

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke