Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Legenda Munculnya Rawa Pening

Letak spesifik Rawa Pening ada di antara Kecamatan Ambarawa, Banyu Biru, Tuntang dan Kecamatan Bawen.

Kondisi geografis kawasan Rawa Pening adalah dataran tanah yang berbentuk cekungan di bawah lereng gunung Telomoyo, Ungaran, dan Merbabu.

Selain menawarkan keeksotisan alam nan indah, Rawa Pening juga menyimpan kisah yang melatarbelakangi munculnya danau itu.

Legenda asal usul Rawa Pening pun dipercayai oleh sebagian orang Jawa Tengah.

Asal Usul Rawa Pening

Dikisahkan, di sebuah desa bernama Ngasem, hidup seorang perempuan berparas cantik bernama Endang Sawitri.

Ia adalah perempuan yang menerima takdir hamil tanpa seorang suami. Lebih tepatnya, ia hamil atas kelalaiannya sendiri.

Ayah Endang Sawitri adalah seorang kepala desa di Ngasem.

Suatu ketika, sang ayah mengutus Endang Sawitri untuk mengambil pusaka di tempat sahabatnya yang bernama Ki Hajar Salokantara.

Pusaka ini hendak digunakan dalam hajatan sedekah bumi di Desa Ngalem.

Namun, dalam perjalanan pulang, Endang Sawitri kelelahan lalu ia beristirahat di bawah pohon.

Ketika beristirahat, ia tidak sadar telah melanggar pesan Ki Hajar Salokantara untuk tidak menaruh pusaka itu dipangkuannya.

Alhasil, pusaka yang berada di pangkuan Endang Sawitri pun hilang.

Setelah bangun tidur dan mendapati pusaka itu telah hilang di pangkuannya, Endang Sawitri segera melapor kepada ayahnya.

Ayahnya pun langsung menemui Ki Hajar Salokantara. Setelah diceritakannya perihal anaknya dan pusaka itu, Ki Hajar Salokantara langsung terdiam.

Ia tidak marah atas hilangnya pusaka itu. Sebab, ia tahu keberadaan pusaka itu yang telah masuk ke dalam rahim Endang Sawitri.

Oleh karena itu, hal yang paling ditakutinya adalah bagaimana caranya gadis ini menyembunyikan aib kehamilannya.

Dengan sangat terpaksa, akhirnya Ki Hajar Salokantara menerima permohonan ayah Endang Sawitri untuk menikahi anak perempuannya.

Setelah menikah, Ki Hajar Salokantara langsung meminta izin kepada mertua dan istrinya untuk bertapa di sebuah goa di kaki Gunung Ungaran untuk membebaskan kutukan.

Setelah sembilan bulan, Endang Sawitri melahirkan dan betapa terkejutnya ketika ia melihat yang dikandungnya selama ini adalah seekor naga.

Namun, atas rasa kasih sayang, anak naga ini tetap dibesarkan oleh Endang Sawitri hingga dewasa.

Setelah dewasa, naga itu meminta izin untuk menemui ayahnya yang sedang bertapa di gua.

Sesampainya di gua yang telah ditunjukkan ibunya, naga itu menyapa seseorang yang ada di sana dan mengatakan bahwa ia adalah anak Endang Sawitri.

Pertapa di dalam gua itu pun menoleh. Ia kaget karena yang mendatanginya bukan seorang manusia, melainkan seekor naga.

Sesuai janji dengan istrinya sebelum bertapa, ia meminta istrinya mengikatkan gelang di tangan anaknya sebagai tanda pengenal.

Cepat-cepat dilihatnya tangan sang naga dan benar ia membawa gelang itu.

Namun, pertapa ini belum yakin sepenuhnya, sehingga ia meminta sang naga untuk melingkari gunung ungaran untuk meyakinkannya.

Benar saja, seekor naga itu mampu melingkari Gunung Ungaran menggunakan tubuhnya dan membuat sang pertapa percaya.

Singkat cerita, anak itu kemudian diminta tetap melingkari Gunung Semar dan bertapa demi membebaskan kutukannya.

Ketika anak itu telah bertapa, ia berangsur menjelma menjadi manusia, tetapi tubuhnya dipenuhi oleh kudis berbau amis.

Kemudian, ia turun ke desa di kaki gunung itu yang sedang melaksanakan sedekah bumi untuk meminta makan.

Namun, seluruh desa kemudian mengusir dan menendangnya. Hanya ada seorang nenek bernama Nyai Latung yang mau menerimanya dan memberinya makanan dan minuman.

Naga yang menjelma manusia ini sudah terlanjur sakit hati dengan penduduk desa. Ia kemudian memutuskan kembali kerumunan orang-orang sombong di desa itu.

Sebelum, menuju kerumunan, ia berpesan kepada Nyai Latung, "Jika kentungan berbunyi maka naiklah ke atas lesung itu dan kau akan selamat".

Sesampainya di kerumunan warga desa yang sombong, ia menancapkan lidi, kemudian berteriak “Siapakah di antara kalian orang sombong yang mampu mencabut lidi ini?”.

Semua orang meremehkannya, anehnya tidak satu orang pun dari penduduk desa dapat mencabut lidi itu, hingga anak ini berucap, “sombongmu tak sebanding dengan kekuatanmu”.

Dicabutnya lidi itu, kemudian air yang deras segera menyebur dari lubang bekasnya. Air pun segera menenggelamkan desa itu.

Tidak ada yang selamat dari peristiwa itu, kecuali Nyai Latung.

Kemudian, Nyai Latung yang berada di atas lesung, hanya dapat melihat bagaimana desanya dipenuhi air bening.

Oleh karena itu, Nyai Latung menyebut desanya yang telah menjadi danau ini dengan sebutan Rawa Pening karena airnya bening.

Referensi:

  • Wahyuni, dkk. (2015). Cerita Rakyat Jawa Tengah: Kabupaten dan Kota Semarang. Semaran: Balai Bahasa Jawa Tengah.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/03/28/090000379/legenda-munculnya-rawa-pening

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke